“Istriku nggak mungkin ikut ke Jawa, aku juga nggak tega memintanya meninggalkan pekerjaan yang baru ia dapat,” ujarnya.
Jadi, ia memilih mengalah. Ia memutuskan meninggalkan ibu kota - meninggalkan dunia yang sudah lama menjadi bagian dari dirinya.
“Berat, tentu saja. Tapi kadang, cinta itu bukan soal siapa yang menang atau kalah. Cinta itu soal siapa yang rela menyesuaikan langkah,” katanya pelan.
Ia merantau ke Sumatera dengan bekal keyakinan dan kenangan. Tak ada teman lama, tak ada jaringan kerja, tak ada gemerlap dunia film yang dulu menghidupinya. Hanya ada dirinya sendiri, dan sebuah niat untuk memulai lagi.
Perjalanan baru itu tidak mudah. Dunia seni yang bebas, penuh imajinasi, tiba-tiba diganti dengan realitas kerja yang serba disiplin dan faktual. Tapi Papa tak kehilangan semangatnya. Ia sadar bahwa meski jalannya berubah, jiwanya tetap sama: seorang pencerita.
Dengan kemampuan menulis yang sudah diasah sejak remaja, ia mencoba peruntungan di dunia jurnalisme. Setelah melewati beberapa kali penolakan, akhirnya ia diterima di kantor berita nasional - Antara. Di situlah babak baru hidupnya dimulai.
“Ternyata menulis berita itu juga seni,” katanya sambil tertawa kecil. “Bedanya, kali ini aku bercerita tentang kenyataan, bukan imajinasi.”
Dunia jurnalistik memberinya cara baru untuk berkarya. Ia belajar tentang kejujuran, ketepatan, dan tanggung jawab atas setiap kata. Jika di film ia menyampaikan makna lewat visual, di jurnalistik ia menyalurkan pesan lewat kata.
Tantangannya banyak: menyesuaikan diri dengan budaya kerja yang ketat, menghadapi tekanan deadline, hingga belajar memahami budaya dan adat di tanah baru. Tapi semuanya ia jalani dengan tekun dan rendah hati.
Pelajaran dari Sebuah Perubahan
Kini, setiap kali mengingat kisah itu, aku seperti mendengar pesan yang tak pernah ia ucapkan secara langsung: bahwa pindah karier bukan akhir dari perjalanan, melainkan babak baru untuk mengenal diri sendiri.