Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Secangkir Komeng dan Cerita dari Sahabat Literasi

9 Oktober 2025   05:57 Diperbarui: 9 Oktober 2025   14:47 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada aroma yang tak mudah dilupakan dari secangkir kopi: hangat, tajam, dan selalu membawa pulang kenangan. Setiap tegukan punya cerita, dan cerita kali ini bermula dari sebuah hadiah sederhana yang datang dari dunia literasi - kopi Komeng, kopi yang saya kenal lewat sosok yang tak asing di dunia tulis-menulis: Kang Maman Suherman.

Saya pertama kali mencicipinya pada tahun 2022. Saat itu, saya baru saja mengenal Kang Maman, seorang penulis, notulen, sekaligus publik figur yang begitu dekat dengan pegiat literasi.

Di media sosial, beliau bukan hanya sekadar berbagi kata, tapi juga berbagi semangat dan kebaikan. Setiap Jumat, Kang Maman rutin mengadakan kegiatan berbagi buku karya-karyanya secara gratis untuk para pecinta literasi di seluruh Indonesia.

Saya termasuk yang sering ikut dan syukurnya, sering pula terpilih menjadi penerima hadiah. Tapi yang membuat momen itu berkesan bukan hanya bukunya, melainkan paket kecil yang kadang datang bersamanya: kopi Komeng, kaos, tumbler, dan produk UMKM lainnya.

Dari semua hadiah itu, kopi selalu jadi yang paling saya tunggu. Ada tiga varian yang pernah saya coba: house blend, arabica, dan robusta.

Setelah mencicipi semuanya, saya paling cocok dengan robusta - kuat, berani, dan tidak terlalu asam di lidah. Menyusul di posisi kedua adalah house blend, sementara arabica terasa agak berat bagi saya. Pahit dan asamnya menyengat.

Kopi Komeng ini punya kekhasan tersendiri. Rasanya tajam, aromanya menenangkan, tapi ampasnya lumayan banyak.

Jadi, agar lebih nyaman di tenggorokan, biasanya saya saring dulu setelah diseduh.

Menikmatinya dalam keadaan hangat adalah waktu terbaik, karena ketika sudah dingin, rasa asamnya cenderung lebih kuat dan meninggalkan sensasi kurang nyaman di mulut.

Meski begitu, saya tetap menikmati setiap tegukan. Mungkin karena kopi ini datang bukan sekadar sebagai minuman, tapi sebagai bentuk perhatian.

Sebuah simbol sederhana dari hubungan manusia yang terjalin lewat kata dan rasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun