Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Ketika Manisnya Kata Jadi Racun di Kantor

6 Oktober 2025   22:52 Diperbarui: 6 Oktober 2025   22:52 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dunia kerja, kemampuan berbicara memang sering dianggap modal penting. Orang yang tahu cara menyusun kata dengan rapi, bisa membaca situasi, dan terdengar ramah biasanya cepat diterima di lingkungan manapun. Tapi, tidak semua “ramah” berarti tulus. Ada juga yang setiap kalimatnya seperti berlapis gula: terdengar lembut di luar, tapi menyisakan rasa tidak nyaman di hati orang lain.

Fenomena itu dikenal sebagai sugar coating; kemampuan membungkus sesuatu yang biasa saja menjadi seolah luar biasa. Di awal mungkin tampak wajar, seperti bentuk sopan santun atau upaya menjaga suasana kerja tetap harmonis. Tapi ketika dilakukan berlebihan demi kepentingan pribadi, batas antara profesionalitas dan kepura-puraan pun mengabur.

Aku pernah bertemu orang-orang seperti ini ketika dulu bekerja di sebuah pabrik di Bogor. Tidak hanya satu atau dua, bahkan banyak. Ada yang pandai sekali memainkan nada bicara di depan atasan: selalu penuh pujian, selalu tampak loyal, dan selalu setuju terhadap apa pun yang dikatakan pimpinan. Namun, ketika atasan tidak di tempat, semua berubah. Nada suaranya jadi ketus, ucapannya sinis, bahkan sering menjelekkan rekan kerja lain.

Jujur saja, suasana seperti itu bikin tidak nyaman. Rasanya seperti hidup di lingkungan kerja yang penuh lapisan topeng. Orang menjadi hati-hati berbicara, takut salah langkah, karena tidak tahu mana kata yang tulus dan mana yang sekadar pencitraan.

Budaya Manis yang Menipu

Dalam sistem kerja modern, sugar coating sering dianggap strategi “aman”. Banyak yang meyakini, dengan bersikap manis di setiap kesempatan, peluang untuk naik jabatan atau mendapat pengakuan akan lebih besar. Padahal, itu seperti membangun rumah di atas pasir: tampak rapi di luar, tapi rapuh di dalam.

Ketika pujian palsu menjadi bahasa sehari-hari, nilai kerja keras dan integritas perlahan hilang. Orang lebih sibuk memoles citra daripada meningkatkan kemampuan. Kantor berubah jadi arena pertunjukan, siapa yang paling bisa menyanjung, dia yang lebih dulu terlihat “berprestasi”.

Aku sempat melihat sendiri dampaknya di pabrik dulu. Beberapa orang yang rajin menjilat malah tampak menonjol di mata atasan. Mereka yang bekerja sungguh-sungguh justru sering terabaikan. Ada rasa tidak adil, tapi juga pelajaran besar: ternyata tidak semua yang terdengar lembut itu baik. Kadang, di balik senyum manis ada niat licik yang tersembunyi.

Masalahnya, budaya seperti ini menular. Orang yang awalnya jujur dan apa adanya bisa tergoda ikut-ikutan. Kalau tidak berpura-pura, merasa tertinggal. Kalau bicara jujur, dianggap terlalu keras. Lama-lama, kantor kehilangan ruhnya sebagai tempat kerja dan berubah jadi panggung drama yang melelahkan.

Dan ketika semua orang mulai memainkan peran, siapa yang masih bisa dipercaya?

Menjaga Diri Tetap Jujur di Tengah Kepalsuan

Menghadapi rekan kerja yang gemar sugar coating memang rumit. Melawan langsung bisa memicu konflik, tapi diam pun bisa bikin frustasi. Cara terbaik, menurutku, adalah tetap fokus pada diri sendiri. Jangan ikut terbawa arus.

Kalau mereka sibuk membangun citra lewat kata-kata manis, biarkan kita membangun reputasi lewat kerja nyata. Hasil yang konsisten, meski tidak selalu cepat diakui, pada akhirnya akan berbicara lebih keras daripada seribu pujian palsu.

Menjaga integritas bukan hal mudah, apalagi ketika lingkungan sekitar terbiasa dengan kepura-puraan. Tapi justru di situ letak tantangannya. Dunia kerja memang keras, tapi bukan berarti harus mengorbankan kejujuran demi bertahan. Karena begitu kita mulai meniru gaya mereka, sedikit demi sedikit hati kita ikut keruh.

Perlu diingat juga, tidak semua bentuk sugar coating muncul dari niat buruk. Ada orang yang memang tidak nyaman menyampaikan kritik secara langsung. Namun, jika kata-kata manis itu sudah berubah menjadi alat manipulasi, saatnya memberi batas. Bisa dengan komunikasi yang terbuka, bisa juga dengan menunjukkan ketegasan lewat sikap profesional.

Kejujuran bukan berarti kasar. Itu berarti berani berkata benar dengan cara yang tetap sopan. Orang yang punya empati tahu bagaimana menyampaikan sesuatu tanpa harus berpura-pura. Sementara mereka yang terlalu sibuk memoles kata akhirnya kehilangan arah, lupa bahwa inti dari komunikasi adalah ketulusan, bukan kesan.

Dalam jangka panjang, sugar coating tidak pernah benar-benar menguntungkan. Ia mungkin mempercepat langkah seseorang sesaat, tapi kepercayaan yang rusak akan menghentikan perjalanan lebih cepat. Karier yang dibangun dari kepura-puraan akan selalu goyah ketika omongan manis itu akhirnya terbukti kosong.

Aku belajar satu hal dari pengalaman di pabrik dulu: yang jujur mungkin tidak selalu disukai, tapi mereka tidur lebih nyenyak. Tidak perlu berpikir dua kali sebelum bicara, tidak perlu mengatur peran hanya untuk diterima. Ketulusan memang terasa pahit di awal, tapi di akhirnya, selalu meninggalkan rasa lega yang manis.

Di dunia kerja yang penuh sandiwara, tetaplah jadi diri sendiri. Tidak perlu meniru mereka yang sibuk menebar gula ke mana-mana. Karena seberapa manis pun kata-kata bisa terdengar, yang tulus dan jujur akan selalu lebih bertahan lama.

Kejujuran bukan sekadar nilai moral, tapi juga bentuk penghormatan pada diri sendiri. Lebih baik dikenal apa adanya, daripada disukai karena kepalsuan. Karena manis yang sejati tidak butuh lapisan tambahan.

Menjadi diri sendiri yang jujur bukan berarti kasar atau keras kepala. Itu berarti tahu kapan harus berbicara dengan hati, bukan dengan topeng. Karena sejatinya, ketulusan selalu bisa dirasakan dan pada akhirnya, orang akan lebih menghargai kejujuran daripada kata-kata manis yang kosong.

Manis boleh, tapi jangan sampai kehilangan rasa asli. Karena kejujuran, meski kadang pahit, selalu lebih menyehatkan daripada gula yang menipu lidah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun