Siapa yang tidak kenal dengan istilah pos ronda atau siskamling? Bagi generasi 90-an ke atas, dua kata ini seperti kunci pembuka kenangan masa lalu. Suatu masa di mana pos ronda tidak hanya menjadi tempat bapak-bapak berjaga, tetapi juga menjadi ruang interaksi sosial yang hangat.
Tempat di mana canda tawa, cerita horor, dan aroma kopi saset berbaur menjadi satu. Sebuah tradisi yang kini seolah tergerus zaman, digantikan oleh kehadiran satpam dan iuran bulanan yang minim interaksi.
Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian kini kembali menggaungkan wacana untuk mengoptimalkan peran Satuan Perlindungan Masyarakat (Satlinmas) dalam mendukung Sistem Keamanan Lingkungan (Siskamling) dan mengaktifkan kembali pos ronda.
Wacana ini tentu saja disambut baik oleh banyak pihak, terutama mereka yang rindu dengan suasana kebersamaan di pos ronda. Namun, pertanyaan besar yang muncul adalah, apakah wacana ini bisa direalisasikan? Mengingat di banyak tempat, jangankan menghidupkan kembali pos ronda, wujud fisiknya saja sudah lama hilang ditelan waktu.
Pos Ronda, Lebih dari Sekadar Bangunan
Dulu, pos ronda adalah pusat kegiatan warga. Tidak hanya menjadi tempat untuk memastikan keamanan lingkungan, tetapi juga menjadi tempat bersosialisasi. Bayangkan saja, di tengah malam yang sunyi, pos ronda menjadi satu-satunya tempat yang ramai. Para bapak-bapak dengan sarung dan jaket tebalnya berkumpul, sesekali menguap, namun tetap semangat.
Ada yang membawa gitar untuk mengusir kantuk, ada yang membawa kartu remi untuk bermain, dan tentu saja, ada yang bertugas membuat kopi. Aroma kopi saset yang diseduh dengan air panas mengepul, berpadu dengan asap rokok kretek, menciptakan suasana hangat di tengah dinginnya malam.
Di sanalah, cerita-cerita lucu muncul. Ada yang bercerita tentang pengalamannya dikejar anjing tetangga, ada yang mengisahkan kejadian mistis yang dialaminya, atau sekadar bergosip santai tentang hal-hal sepele.
Di pos ronda juga, ikatan sosial terjalin. Warga yang mungkin sehari-hari sibuk dengan urusannya masing-masing, bisa bertemu dan berbincang santai. Pos ronda menjadi jembatan yang menghubungkan antar-warga, membuat mereka merasa sebagai satu keluarga besar. Inilah nilai yang perlahan-lahan hilang dari kehidupan kita sekarang.
Pengalaman Ronda yang Tak Terlupakan
Dulu, waktu 2014/2015an di kampung tempat saya ada program wajib jaga malam. Saya pernah ikut jaga malam menggantikan kehadiran bapak di saat libur sekolah. Bersama teman-teman, kami jaga sampai maksimal jam 2 dini hari saja. Pengalaman itu sangat berkesan. Kami bukan hanya berjaga, tetapi juga bercanda dan berbagi cerita.
Di masa kepemimpinan Bupati Pak Mustofa di Lampung Tengah pada periode 2015-2018 setiap kampung punya program ronda malam. Bahkan, Pak Bupatinya juga beberapa kali turun lapangan keliling buat memastikan ronda malam berjalanan.
Program ini berhasil menciptakan rasa aman bagi masyarakat. Namun sayangnya, sejak beliau tersandung kasus KPK, program ini kian memudar. Dan, sekarang sudah nggak nampak lagi. Wajar jika saat ini banyak kejahatan sering terjadi. Terutama kemalingan, yang paling sering ya kendaraan sepeda motor.
Makanya ibu saya suka cerewet kalau malam sudah tiba, tapi motor masih dibiarkan di luar rumah. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Di tengah kepadatan penduduk, para maling semakin cermat dan cerdik. Lengah dikit, motor kesayangan bisa raib dalam sekejap.
Informasi tentang pencurian sepeda motor atau pembobolan rumah kini hampir setiap hari ramai diperbincangkan di media sosial, lengkap dengan rekaman CCTV. Ini menjadi bukti bahwa rasa aman yang dulu hadir, kini mulai pudar.
Nilai-Nilai yang Terkikis dan Pesan untuk Kita
Hilangnya tradisi siskamling bukan hanya tentang keamanan, tetapi juga tentang terkikisnya nilai-nilai sosial. Dulu, siskamling mengajarkan kita tentang gotong royong dan solidaritas. Setiap warga memiliki tanggung jawab untuk menjaga keamanan bersama.
Semua warga ikut andil, bukan hanya segelintir orang. Ini berbeda dengan sistem keamanan saat ini, di mana kita hanya cukup membayar iuran bulanan dan menyerahkan semua tanggung jawab kepada satpam.
Selain itu, siskamling juga melatih kepekaan sosial. Saat ronda, kita tidak hanya mengawasi keamanan, tetapi juga peka terhadap lingkungan sekitar. Kita bisa melihat jika ada tetangga yang sedang dalam kesulitan, atau ada hal-hal mencurigakan yang perlu diwaspadai. Interaksi tatap muka yang terjadi di pos ronda membuat kita lebih dekat dengan tetangga. Kita bisa saling menyapa, berbagi cerita, dan membangun rasa kekeluargaan yang kuat.
Wacana untuk mengaktifkan kembali siskamling dan pos ronda adalah sebuah tantangan sekaligus peluang. Tantangannya adalah bagaimana membangkitkan kembali kesadaran masyarakat akan pentingnya gotong royong dan kebersamaan. Peluangnya adalah untuk membangun kembali fondasi sosial yang mulai rapuh.
Pos ronda bukan hanya tempat untuk berjaga, tetapi juga ruang untuk membangun kembali kehangatan dan kekeluargaan yang mulai pudar.
Keamanan adalah tanggung jawab kita bersama. Tidak bisa hanya mengandalkan pihak keamanan atau iuran bulanan semata. Siskamling adalah refleksi dari semangat gotong royong dan kebersamaan yang menjadi ciri khas bangsa kita. Mungkin sudah saatnya kita berhenti menganggap siskamling sebagai kenangan masa lalu, dan mulai melihatnya sebagai solusi untuk masa depan.
Maka, jika aturan ini benar-benar diberlakukan, sudah siapkah lingkunganmu untuk kembali menghidupkan siskamling? Sudah saatnya kita bangkit dari rasa individualistis dan kembali merangkul kebersamaan. Bukan hanya untuk menjaga keamanan, tetapi juga untuk membangun kembali tali silaturahmi yang sudah lama hilang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI