Gerbang Setan bukan sekadar film horor yang dibumbui tawa. Ia adalah potret budaya populer yang merayakan ketakutan kolektif dengan cara yang jenaka, namun tetap menohok.
Disutradarai oleh Toto Hoedi dan dirilis pada 17 Juli 2025, film ini mencoba menyusuri lorong-lorong gelap tradisi mistis Jawa lewat lensa kekinian: lima mahasiswa kota besar, kampung terpencil, dan misteri yang berkembang dari mitos menjadi bencana.
Kelima tokoh utama — Diki, Beni, Rachel, Bagas, dan Wina — berangkat ke sebuah desa bernama Lawase Urip untuk konten wisata horor. Tanpa mereka tahu, Lawase Urip bukan tempat wisata biasa.
Desa ini mempraktikkan ritual purnama merah, sebuah tradisi sesajen nyawa yang dilakukan agar gerbang menuju dunia setan tetap tertutup. Dari sinilah, film mulai menggali ketegangan dengan pendekatan yang tidak biasa: menakutkan, tapi juga kocak.
Komeng, Cak Lontong, dan Ummy Quary memberi warna pada film ini sebagai penggerak humor. Bukan sekadar penghibur, mereka menjadi semacam juru cerita yang menyeimbangkan horor dan kekonyolan.
Tapi perpaduan itu tidak selalu berjalan mulus. Beberapa transisi terasa canggung, dan tak semua guyonan bekerja. Namun, tawa yang muncul sesekali justru memberi jeda emosional yang membuat ketegangan lebih terukur.
Hal yang patut dicatat adalah bagaimana film ini mengemas simbol-simbol budaya. Nama Lawase Urip, yang berarti "kehidupan lama" dalam bahasa Jawa, bukan sekadar hiasan eksotis. Ia mencerminkan satu gagasan: bahwa masa lalu yang tidak diselesaikan akan terus menghantui.
Dalam konteks film, trauma kolektif, kepercayaan leluhur, dan praktik pengorbanan menjadi metafora dari warisan budaya yang tidak sepenuhnya kita pahami, tapi tetap kita pertahankan. Film ini seperti mengajak penonton untuk bertanya: Apakah semua tradisi memang harus dilestarikan, atau justru ditinjau ulang?
Dari sisi teknis, "Gerbang Setan" memang tidak bermain di level produksi tinggi. Efek visual minimalis, lokasi terbatas, dan adegan ritual yang kadang terasa teatrikal. Tapi kekuatan film ini ada pada atmosfer: lanskap desa yang sunyi, suara gamelan yang samar di kejauhan, dan simbol-simbol khas budaya Jawa yang digunakan dengan efektif. Ia mengandalkan suasana, bukan sekadar kejutan. Bukan horor blockbuster, tapi horor lokal dengan napas sendiri.
Sayangnya, film ini belum menyampaikan seluruh potensinya. Banyak ide yang terkesan setengah matang. Alih-alih mengajak penonton menyelami makna tradisi, ia kadang memilih rute aman: menakut-nakuti, lalu melucu. Padahal, jika lebih berani menggali filosofi di balik "gerbang setan", film ini bisa menjadi refleksi sosial yang lebih tajam.