Kisah Ulama, Cermin Sikap terhadap Waktu
Dalam kajiannya, Gus Faiz juga mengisahkan tentang orang-orang saleh terdahulu, seperti; Imam Hasan Basri yang selalu mengisi detik hidupnya agar tak terbuang sia-sia. Ada Abu Abbas Almursi, sufi yang tak pernah lepas dari zikir. Dan Bahlul, tokoh sufi nyentrik yang menertawakan dunia karena tahu betapa fana dan terbatasnya ia.
Mereka bukan hanya menunjukkan bagaimana hidup sederhana, tapi juga bagaimana memaknai waktu sebagai ladang akhirat. Mereka tidak mengejar banyaknya amal, tapi kualitas hubungan dengan Allah. Sebuah pelajaran penting bagi generasi yang terlalu sering mengejar kesan luar, tapi lupa merawat dalam.
Dunia Pasti Berakhir, Tapi Amal Tetap Dihitung
Yang paling menggetarkan adalah kesadaran bahwa waktu dunia ini punya batas. Suatu saat semua akan selesai: pekerjaan, pencapaian, bahkan kehidupan itu sendiri. Dan yang tersisa hanyalah catatan amal.
Saat itu, yang akan menolong bukan gelar atau pengikut, tapi apa yang kita lakukan dengan waktu yang kita miliki. Maka, manusia yang cerdas bukan yang paling sibuk, tapi yang paling mampu memaknai kesibukan sebagai bentuk penghambaan kepada Allah.
Waktu Adalah Ujian, dan Kita Harus Lulus
Kajian ini bukan hanya memberi pemahaman, tapi juga membangunkan kesadaran. Bahwa dalam hidup yang makin sibuk, kita butuh jeda. Bukan untuk berhenti, tapi untuk bertanya: sudahkah kita berjalan ke arah yang benar? Sudahkah waktu kita diisi dengan sesuatu yang bermakna?
Zaman boleh berubah. Teknologi boleh semakin canggih. Tapi nilai waktu akan selalu tetap: terbatas, berjalan satu arah, dan akan dimintai pertanggungjawaban.
Jadi hari ini, di tengah kesibukan kita mengejar karier, deadline, atau scroll media sosial, ingatlah: setiap detik adalah karunia, sekaligus ujian. Jangan biarkan ia berlalu sia-sia.
Karena waktu tak bisa kita simpan, tak bisa kita ulang - tapi bisa kita isi dengan hal yang berarti.