Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Penyuka warna biru yang demen kopi hitam tanpa gula | suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Curup Putri Malu, Perjalanan Nekat Bersama Motor Matic

17 Juli 2025   11:41 Diperbarui: 17 Juli 2025   16:15 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa anggota yang tergabung dalam "Pemula" saat menikmati indahnya Curup Putri Malu, di Banjit, Way Kanan. (Foto: Dokpri).

Siapa sangka, perjalanan "healing" bareng komunitas malah jadi salah satu petualangan paling berkesan dalam hidup saya. Bukan karena mewahnya tempat tujuan, tapi karena perjuangan menuju ke sana, ditambah bumbu-bumbu dramatis yang datangnya belakangan.

Perjalanan ini saya lalui di tahun 2016 lalu. Saya kembali teringat dengan kenangan kala itu, usai membaca topik pilihan di Kompasiana - perihal kendaraan yang menjali teman perjalanan. Maka, saya putuskan untuk berbaginya di sini.

Hari itu, saya dan teman-teman dari komunitas Pemuda Peduli Lingkungan dan Alam (Pemula) diajak ikut promosi wisata ke salah satu air terjun indah di Kabupaten Way Kanan, Lampung: Curup Putri Malu.

Kami bergabung dengan komunitas motor trail dan beberapa orang dari Dinas Pariwisata. Meski belum punya motor pribadi saat itu, aku tetap bisa ikut karena dibonceng temanku.

Perjalanan dimulai dari jalan Lintas Sumatera - SMAN 1 Baradatu menuju Pasar Banjit, Kecamatan Banjit. Kami mampir di rumah salah satu anggota komunitas motor trail, kami disambut dengan teh hangat dan jajanan tradisional. Obrolan hangat jadi pelepas penat sebelum melanjutkan ke jalur yang lebih menantang.

Lalu, perjalanan dilanjutkan dari Lapangan Merdeka Banjit menuju Kampung Juku Batu, Kecamatan Banjit. Lebih tepatnya ke kawasan Hutan Lindung Bukit Punggur - Register 24, tempat Curup Putri Malu berada. Jaraknya sekitar 35-40 km, dengan waktu tempuh 1 sampai 1,5 jam menggunakan motor. 

Awalnya saya naik motor bebek bersama seorang teman. Tapi saat tahu ada anggota perempuan yang membawa motor matic, dan kami khawatir dia bakal kesulitan di medan sulit, saya pun spontan menawarkan diri untuk menukarnya. Dia akhirnya dibonceng temanku, dan saya yang bawa motor matic-nya.

Bagi yang membawa mobil bisa banget ke sini, nanti di perkampungan terakhir bisa sewa ojek. Biasanya ada jasa ojek kopi namanya, satu motor dikenakan tarif sebesar Rp. 100.000 (ini dulu ya, nggak tahu kalau sekarang).

Medan awal masih ramah - aspal mulus dan sedikit jalan kerikil. Tapi tak lama, jalur berubah drastis: jalan berbatu, tanah merah, dan tanjakan ekstrem yang bikin tangan pegal dan konsentrasi penuh. Untungnya waktu itu cuaca mendukung. Matahari cukup cerah, semangat kami tetap terjaga.

Kendati demikian, disepanjang perjalanan mata kami dimanjakan oleh pemandangan indah nan mempesona. Aroma bunga kopi yang khas (karena kala itu bertepatan dengan musim kopi), sepoi angin, hingga panorama dusun dari atas bukit.

Sesampainya di Curup Putri Malu, segala lelah langsung hilang. Air terjun ini berdiri anggun di tengah rimbunnya hutan pegunungan. Dengan ketinggian mencapai kurang lebih 80 meter, disertai udaranya yang sejuk, bahkan dingin menusuk, dengan semilir angin yang menggoda kulit.

Untuk tiket masuk, saat itu masih kami hanya membayar parkir Rp. 15.000 permotor. Biaya masuk masih free. Namun, beberapa waktu setelahnya biaya masuk dikenakan seharga Rp. 20.000 setelah adanya pengelolaan terhadap destinasi wisata ini. Sedangkan parkir motor dikenakan Rp. 10.000-15.000.

Tak jauh dari Curup Putri Malu, ada sebuah curup yang tak kalah menarik, letaknya sangat dekat, kurang lebih 100-200 meter.

Kami manfaatkan momen itu sebaik mungkin - foto-foto, bikin video, dan tentu saja: mandi di bawah guyuran air terjun yang menyegarkan. Saya sendiri berendam sekitar 15-20 menit. Karena badan sudah menggigil, saya memutus untuk udahan.

Tapi kisah belum selesai.

Potret Curup Putri Malu yang berada di Juku Batu, Banjit, Way Kanan, Lampung. (Foto: Dokpri)
Potret Curup Putri Malu yang berada di Juku Batu, Banjit, Way Kanan, Lampung. (Foto: Dokpri)

Saat perjalanan pulang, langit mendung menyapa. Gerimis pun turun pelan-pelan. Jalanan yang tadi kering berubah licin. Kami harus menuruni jalur yang tadi sempat dilalui - tanah merah, jalan setapak, dan batu-batu licin. Saya masih mengendarai motor matic itu, dan di sinilah "drama" dimulai.

Motor tergelincir - tiga kali. Pertama di tanah merah, kedua di tikungan licin, dan terakhir di jalan bebatuan curam. Untungnya kecepatan pelan, jadi tak ada luka serius. Hanya lecet ringan dan rasa ngilu di kaki. Bajuku basah kuyup, bercampur tanah dan gerimis sore itu.

Salah satu warga yang membantu kami kala itu berkata, "Kalau mau ke Curup Putri Malu, paling aman pakai motor trail. Atau paling nggak, roda motornya dipasang rantai." Ternyata memang sore hari sering turun hujan di sana. Info ini jadi pelajaran penting untuk perjalanan berikutnya.

Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa perjalanan bukan soal cepat sampai, tapi bagaimana kita bisa menikmati prosesnya. Ada rasa syukur ketika bisa sampai tujuan dalam keadaan selamat, meski harus melewati rasa lelah dan insiden kecil. Ada juga nilai persahabatan dan saling bantu yang tumbuh sepanjang jalan.

Motor, bagi sebagian orang mungkin hanya kendaraan murah yang penting bisa jalan. Tapi bagiku, motor adalah simbol kebebasan. Bahkan sekarang, meski sudah punya kendaraan pribadi, saya tetap lebih memilih motor untuk kegiatan harian.

Selain karena irit, lincah, bisa nyelip saat macet, dan pastinya lebih satset-satset ke mana-mana. Ya, walau harus rela kepanasan dan kadang kehujanan, motor tetap jadi andalan utama.

Apa pun jenis kendaraannya, yang paling berarti bukanlah kecepatan atau kemewahannya, melainkan sejauh mana ia menjadi saksi perjalanan hidup kita.

Setiap putaran roda membawa cerita - tentang keberanian mengambil jalan yang belum pernah ditempuh, tentang ketulusan menolong tanpa diminta, tentang kerelaan menahan lelah demi kebersamaan.

Ada peluh yang menetes, ada tanah yang mengotori, bahkan sesekali ada jatuh yang menyakitkan. Tapi justru di sanalah letak maknanya: perjalanan menjadi cermin diri, bahwa untuk sampai ke tempat indah, kita harus siap melewati jalan yang tak selalu mudah.

Dan kadang, bukan tujuan akhirnya yang paling membekas, tapi proses jatuh bangun yang kita jalani bersama di atas kendaraan sederhana itu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun