Sebuah kebijakan menarik baru saja dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat (Pemprov Sulbar). Mulai tahun ajaran ini, seluruh siswa SMA/SMK sederajat di wilayah itu diwajibkan membaca minimal 20 buku selama masa studi mereka sebagai syarat kelulusan. Ini bukan kabar kecil. Ini adalah langkah besar dan berani dalam upaya meningkatkan budaya literasi di tengah generasi yang lebih akrab dengan scroll sosial media daripada aroma kertas buku.
Tapi seperti semua langkah besar, kebijakan ini pun menimbulkan pertanyaan: akan dibawa ke mana kebiasaan membaca itu? Apakah hanya sebatas administrasi kelulusan? Atau betul-betul ditujukan untuk membentuk generasi pembelajar sejati?
Langkah Pemprov Sulbar ini patut diapresiasi. Di saat minat baca terus dipertanyakan, mereka justru hadir dengan pendekatan konkret. Bukan sekadar ajakan kampanye, tapi kebijakan struktural. Siswa tak hanya diminta membaca, tapi diwajibkan. Bahkan lebih dari itu, dua dari 20 buku yang dibaca adalah tentang tokoh lokal: Baharuddin Lopa dan Andi Depu. Ini bukan hanya soal literasi, tapi juga soal identitas.
Namun, perlu disadari bahwa membaca 20 buku bukanlah capaian kalau hanya dilaporkan dalam bentuk daftar judul. Literasi sejati tidak berhenti di nama pengarang atau jumlah halaman. Ia hidup saat anak-anak itu mulai memahami makna, mengaitkannya dengan hidup, bahkan mempercakapkannya dengan orang lain.
Bayangkan jika kebijakan ini justru melahirkan budaya palsu: siswa sekadar "menyetor" judul, mungkin sekadar membaca sinopsis, atau bahkan asal comot daftar dari internet. Maka 20 buku itu tak akan menjadi apa-apa selain angka.
Dampingan: Kunci Agar Buku Tak Sekadar Dibuka, Tapi Dipahami
Karena itu, penting agar kebijakan ini tidak hanya berhenti di angka dan laporan. Harus ada mekanisme pendampingan. Guru perlu diberdayakan untuk menjadi pembimbing literasi. Bukan untuk mengawasi dengan ancaman, tapi untuk menjadi teman berpikir dan penanya yang menggugah.
Setiap siswa perlu diberikan ruang untuk berbicara tentang buku yang dibaca. Mungkin dalam bentuk jurnal bacaan, diskusi kelas, atau sesi berbagi pendapat. Bahkan bisa dibuat sistem "peer review" antarsiswa agar mereka saling mengulas buku yang dibaca temannya.
Jika tidak, yang akan tercipta adalah pembaca pasif: tahu halaman, tapi tidak tahu makna. Sementara yang kita butuhkan saat ini justru adalah pembaca reflektif: mereka yang bisa bertanya, menimbang, dan mengambil nilai dari yang mereka baca.
Menanam Identitas lewat Buku