[caption id="attachment_321759" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]
Suatu ketika dikala senja, Darmanto dan Pardede tengah berbincang-bincang di warung kopi. Mereka berdua adalah sopir angkot yang suka mengamati berita perpolitikan di negeri Indonesia tercinta ini. Biar dikata profesinya hanya seorang sopir angkot, tetapi jangan salah, mereka cukup pandai dengan istilah-istilah yang sering dipakai oleh pejabat kita yang sangat terhormat mat. Walalupun kadang kalau ditanya artinya mereka selalu mengalihkan pembicaraan atau hanya manggut-manggut sembari matanya menerawang jauh memandang apa yang sekiranya bisa mengalihkan perhatian si penanya.
“De, .. aku heran sama para politisi kita, rasa takut mereka kok kayaknya sudah mati, ya?” kata Darmanto dengan mimic yang serius.
“Maksudnya gimana, nih?” sahut pardede seraya melorot rokok milik Darmanto sementara yang empunya cuma melirik rokoknya.
“Ente tentu masih ingat, kan, dulu ada politisi kita yang katanya kalau terbukti dia bersalah akan digantung di monas,..eh ..udah ketahuan mana buktinya? Jangankan di monas, di pohon toge pun kagak” sahut Darmanto mengisap rokoknya dalam-dalam.
“ Sekarang ada lagi yang berani sesumbar mau dipotong leher sama kupingnya kalo rekannya terbukti terlibat korupsi, ..halah … saya sih nggak percaya acan-acan. De” Lanjut Darmantomengisap rokonya lagi dalam-dalam. Pardede yang sedari tadi melirik rokoknya Darmanto guna menyambung rokoknya yang udah habis pun nampak serius menyimak.
“Eh ,..to .. ente nggak tau ya kalau politisi itu orang pintar, dan kalau menyatakan sesuatu itu belum tentu langsung tanda titik” Sahut Pardede tangannya bergerak menuju kea rah rokok Darmanto
“kok bisa begitu?” Tanya Darmanto serius
“Dulu waktu politisi kita yang mengumbar janji mau digantung dimonas itu sebenarnya dia ngomong belum selesai. Aslinya begini, Saya berani digantung di monas jika saya terbukti bersalah koma foto atau bajunya saja. Nah, kalo yang sekarang begini “Aku pertaruhkan. Siap saja. Siap dipotong leher, kuping juga koma maksudnya leher dan kuping ayam saya. Nah, itu, To”
Darmanto cuma manggut-manggut.
“Bener juga, ya kata ente. De”
“Nah, makanya situ kalo dengerin politisi ngomong harus dicerna dulu jangan ditelan mentah-mentah”
“aku Cuma khawatir”
“khawatir kenapa”
“Masyarkat kita bakalan nggak percaya lagi sama politisi model begitu”
“itu sih sudah terjadi sejak dulu-dulu, To, cuma masalahnya saya juga heran kenapa ya politisi model begitu masih aja dipiara sama partai”
“iya juga ya, ..ah sudahlah jangan ngomongin politisi aku sudah enek” tukas Darmanto seraya membuang koran bekas bungkus gorengan ke tong sampah. Di koran tersebut terpampang jelas berita dan gambar politisi yang sudah mengumbar mempertaruhkan leher dan kupingnya. Mereka berdua pun melanjutkan mengarungi lautan kehidupan guna mengais rejeki untuk menafkahi keluarganya masing-masing.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI