1. Nilai kehidupan (Lebenswert), Akuntansi merefleksikan nilai sosial seperti keadilan, kesejahteraan, dan tanggung jawab. Laporan keuangan bukan hanya alat evaluasi, tetapi juga sarana komunikasi nilai kehidupan organisasi terhadap masyarakat.
2. Empati (Einfhlung), Akuntan yang berempati tidak berhenti pada angka, tetapi berusaha memahami realitas manusia di baliknya. Ketika auditor menilai laporan, ia juga menilai keputusan, tekanan, dan konteks moral pembuat laporan. Seperti yang dijelaskan Orman (2021), empati adalah bentuk pemahaman dari dalam (von innen verstehen) terhadap makna yang dihidupi pelaku ekonomi.
3. Makna moral (Sittlicher Sinn), Laporan keuangan adalah teks etis yang memuat pesan kejujuran dan tanggung jawab. Akuntansi yang bermoral tidak hanya menilai efisiensi, tetapi juga menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Transparansi dan integritas menjadi dasar agar profesi ini tetap dipercaya publik.
Ketiga nilai ini membentuk dasar etika hermeneutik yang menuntut akuntan dan peneliti untuk memahami akuntansi bukan hanya dari sisi logika, tetapi juga dari sisi nurani. Dengan begitu, praktik akuntansi dapat berkontribusi pada kemanusiaan, solidaritas, dan kesejahteraan sosial.
Implikasi dalam Akuntansi Modern
Jika gagasan Wilhelm Dilthey diterapkan dalam praktik akuntansi modern, maka paradigma dasar profesi ini akan mengalami pergeseran besar. Akuntansi tidak lagi hanya berfungsi sebagai alat ukur finansial, tetapi juga sebagai media komunikasi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam pendekatan hermeneutik, laporan keuangan dapat dipandang sebagai teks sosial yang menuturkan makna moral dan historis di balik setiap angka. Hal ini menuntut akuntan untuk tidak sekadar "menghitung dengan benar," tetapi juga "memahami dengan bijak."
Dalam konteks ini, akuntansi berperan sebagai jembatan antara fakta ekonomi dan nilai sosial. Sebagai mahasiswa akuntansi, saya melihat bahwa pergeseran ini penting karena dunia bisnis masa kini sedang menghadapi krisis kepercayaan. Banyak masyarakat yang skeptis terhadap laporan keuangan karena berbagai skandal manipulasi data dan praktik akuntansi kreatif. Dengan memahami akuntansi secara hermeneutik, akuntan ditantang untuk memulihkan kepercayaan publik melalui pendekatan yang lebih jujur, empatik, dan transparan.
Pendekatan ini juga mendorong munculnya praktik akuntansi yang lebih reflektif dan partisipatif. Reflektif berarti setiap penyusunan laporan keuangan disertai kesadaran etis tentang dampak sosial dari keputusan yang diambil. Partisipatif berarti akuntansi melibatkan lebih banyak suara---tidak hanya pemegang saham, tetapi juga karyawan, masyarakat, dan lingkungan. Ketika laporan keuangan dibaca sebagai ekspresi nilai sosial, maka setiap pihak yang terdampak memiliki hak untuk ikut menafsir dan memberi makna terhadap angka-angka yang disajikan.
Dalam pendidikan akuntansi, hermeneutika menawarkan peluang untuk menumbuhkan kepekaan moral mahasiswa. Belajar akuntansi bukan lagi hanya tentang menguasai standar PSAK atau menghitung rasio keuangan, tetapi juga tentang memahami konteks sosial dan nilai kemanusiaan di balik laporan. Saya pribadi merasa bahwa kuliah akuntansi akan jauh lebih bermakna jika mahasiswa diajak merenungkan pertanyaan seperti: "Apa makna moral dari angka laba bersih?" atau "Bagaimana laporan keuangan dapat mencerminkan keadilan sosial?" Pertanyaan seperti ini melatih kemampuan berpikir kritis sekaligus memperdalam kesadaran etis mahasiswa sebagai calon akuntan profesional.
Dalam ranah praktik, pemahaman hermeneutik juga dapat mengubah cara auditor dan manajer keuangan bekerja. Seorang auditor, misalnya, tidak hanya menilai kewajaran angka berdasarkan prosedur teknis, tetapi juga mencoba memahami niat dan konteks moral dari penyusun laporan. Ini sejalan dengan semangat verstehen yang menekankan pemahaman dari dalam (von innen verstehen). Dalam situasi seperti ini, auditor bukan sekadar "pengawas," tetapi juga "penafsir" yang mencari makna kemanusiaan di balik setiap kebijakan keuangan.
Selain itu, pendekatan hermeneutik membantu menjembatani hubungan antara akuntansi dan keberlanjutan (sustainability). Dalam era ESG (Environmental, Social, and Governance), angka-angka finansial saja tidak cukup menjelaskan keberhasilan organisasi. Laporan keberlanjutan yang menampilkan data lingkungan dan sosial menjadi bentuk baru ekspresi (Ausdruck) perusahaan terhadap nilai kehidupan (Lebenswert). Ketika perusahaan melaporkan penurunan emisi karbon atau peningkatan kesejahteraan karyawan, hal itu bukan sekadar angka statistik, tetapi representasi dari nilai moral dan tanggung jawab sosial mereka.