Epistemologi: Dari Penjelasan Menuju Pemahaman
Secara epistemologis, hermeneutika Dilthey menolak gagasan bahwa satu-satunya bentuk pengetahuan yang sah adalah yang bersifat empiris. Pengetahuan tentang manusia, kata Dilthey, tidak dapat direduksi menjadi data statistik atau hukum universal. Dalam akuntansi, hal ini berarti bahwa angka-angka di laporan keuangan tidak bisa dimaknai hanya sebagai fakta objektif; angka itu merefleksikan keputusan, niat, dan interpretasi manusia yang menyusunnya.
Akuntansi dengan demikian bukan sekadar ilmu penjelasan, tetapi juga ilmu pemahaman. Ia berfungsi untuk menafsir realitas sosial-historis yang terekam dalam bentuk laporan keuangan. Apollo, Hariani, dan Herliansyah (2025) menjelaskan bahwa laporan keuangan dapat dibaca sebagai teks sosial yang merepresentasikan pengalaman manusia (Erlebnis) di dunia ekonomi. Penelitian interpretatif semacam ini memungkinkan kita untuk melihat dimensi moral dan budaya di balik angka-angka.
Dalam paradigma ini, pengetahuan akuntansi tidak lagi hanya berorientasi pada objektivitas, tetapi juga pada empati dan kesadaran historis. Dengan membaca laporan keuangan sebagai teks sosial, akuntan dituntut untuk memahami makna yang tersembunyi di balik setiap keputusan finansial. Inilah bentuk rasionalitas baru yang diusulkan oleh Dilthey---rasionalitas yang menempatkan manusia dan nilai kemanusiaan sebagai inti pengetahuan.
Ontologi: Akuntansi sebagai Dunia Simbolik
Dari sisi ontologi, Dilthey meyakini bahwa realitas sosial selalu terbentuk melalui simbol dan ekspresi. Dunia manusia bukanlah sekumpulan fakta netral, melainkan dunia hidup (Lebenswelt) yang penuh makna. Dalam kerangka ini, laporan keuangan bukanlah objek yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari sistem simbolik yang digunakan manusia untuk mengekspresikan dan mengomunikasikan nilai.
Akuntansi, dalam pandangan ini, adalah bahasa simbolik yang menggambarkan dunia kehidupan ekonomi. Setiap angka, format laporan, hingga istilah akuntansi adalah simbol yang menandakan nilai tertentu: kejujuran, akuntabilitas, tanggung jawab, atau bahkan kekuasaan. Trkan Frnc Orman (2021) menegaskan bahwa memahami simbol-simbol ini memerlukan konteks budaya, moral, dan historis yang melingkupinya. Oleh karena itu, penelitian akuntansi yang hermeneutik berfokus pada interpretasi makna simbolik dari tindakan ekonomi.
Sebagai contoh, laporan keberlanjutan (CSR) yang disusun perusahaan tidak hanya menyajikan data biaya sosial, tetapi juga menunjukkan bagaimana organisasi menafsir tanggung jawab dan etika bisnisnya. Dengan demikian, laporan keuangan adalah ekspresi (Ausdruck) dari nilai-nilai sosial dan moral yang dianut perusahaan. Melalui pendekatan ini, akuntansi tidak lagi dilihat sebagai praktik teknis, melainkan fenomena ekspresif dan komunikatif yang memperlihatkan wajah moral organisasi di hadapan publik.
Aksiologi: Nilai, Empati, dan Makna Moral
Hermeneutika Dilthey menempatkan nilai (axiology) sebagai inti dari ilmu manusia. Pengetahuan tidak pernah netral karena selalu dipengaruhi oleh nilai dan pengalaman batin manusia. Dalam akuntansi, hal ini berarti bahwa setiap laporan keuangan memuat nilai moral tertentu---baik secara sadar maupun tidak.
Murdiati dan Mukalam (2023) menyebutkan tiga dimensi utama dalam aksiologi hermeneutik yang dapat diterapkan pada akuntansi: nilai kehidupan (Lebenswert), empati (Einfhlung), dan makna moral (Sittlicher Sinn).