Dalam dunia software engineering, quality bukanlah sekadar "tidak ada bug" atau "bisa login". Menurut Software Engineering Body of Knowledge (SWEBOK v4), software quality mencakup dua dimensi besar: kualitas produk (software product quality) dan kualitas proses (software process quality). SWEBOK mendefinisikan kualitas sebagai "the capability of a software product to satisfy stated and implied needs under specified conditions," sebuah definisi yang menekankan kesesuaian produk terhadap kebutuhan nyata, eksplisit maupun implisit, dalam kondisi penggunaan yang relevan.
Kualitas, dalam konteks ini, bukan sekadar fitur yang berjalan, melainkan keandalan fitur tersebut dalam kondisi sebenarnya. Ini melibatkan reliability, usability, performance efficiency, hingga maintainability. Validasi bukan cuma soal "bisa dijalankan", melainkan: apakah ini benar-benar yang dibutuhkan pengguna? Apakah sistem akan tetap stabil bila digunakan oleh puluhan pelanggan dalam waktu bersamaan?
Dan lebih dari itu, pertanyaan tentang kualitas juga menyentuh aspek etika profesional dalam rekayasa perangkat lunak. Ketika kita merancang sistem yang akan digunakan orang lain, kita juga memikul tanggung jawab terhadap kenyamanan, keamanan, dan keandalan pengalaman mereka.
Namun sayangnya, dalam banyak proyek kecil atau akademik, kualitas sering dikerdilkan menjadi: selama tidak error saat demo, berarti aman.
Contoh: Sistem Penjualan Furniture Online ala Prototyping
Dalam paper yang telah dibahas sebelumnya, berjudul "Rekayasa Perangkat Lunak Sistem Informasi Penjualan Barang Furniture Secara Online dengan menggunakan Metode Prototyping", sekelompok mahasiswa merancang sistem informasi berbasis web untuk toko KANA Furniture. Proyek ini menggunakan metode prototyping, pendekatan iteratif yang memungkinkan pengguna menguji bentuk awal aplikasi sebelum dibangun secara penuh.
Di atas kertas, pendekatan ini patut diapresiasi. Prototyping memang direkomendasikan SWEBOK sebagai metode yang mendukung keterlibatan pengguna secara dini dan dapat memperbaiki ketidaksesuaian kebutuhan sejak awal. Proses iteratif ini memungkinkan perubahan cepat, serta membuka ruang komunikasi antara pengembang dan pengguna sejak tahap awal.
Namun, di sisi lain, prototyping juga sering menimbulkan ilusi kemajuan: sistem tampak bekerja, padahal hanya "dipoles luar"-nya. Prototype yang tampak fungsional belum tentu merepresentasikan sistem yang matang dari sisi performa maupun keandalannya dalam kondisi nyata. Validasi awal yang terlalu cepat dianggap selesai bisa menjadi jebakan.
Dan di sinilah letak masalahnya.
Validasi yang Hanya Kulit Luar: Jalan Pintas yang Membahayakan
Dalam laporan hasil, sistem ini diuji melalui tahapan evaluasi prototipe dan pengujian sistem. Namun dari uraian dalam makalah, tidak terlihat adanya bukti bahwa sistem divalidasi secara nyata terhadap kebutuhan pelanggan toko. Tidak disebutkan adanya simulasi transaksi secara paralel, tidak ada uji ketahanan terhadap data riil, bahkan tidak ada pengukuran kualitas seperti error rate, response time, atau defect density.
SWEBOK menekankan bahwa kualitas harus direncanakan dan dievaluasi sejak awal melalui proses seperti Verification and Validation (V&V), Software Quality Assurance (SQA), hingga Software Quality Measurement. Semua ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mendasar: apakah perangkat lunak ini layak digunakan dalam kondisi sesungguhnya?