Mohon tunggu...
Muhamad Karim
Muhamad Karim Mohon Tunggu... Dosen - Saya seorang Akademisi

Bidang Keahlian saya Kelautan dan perikanan, ekologi, ekonomi politik sumber daya alam.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kelola Perikanan Tanpa Ocean Grabbing

15 Oktober 2019   09:03 Diperbarui: 15 Oktober 2019   09:11 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KELOLA PERIKANAN TANPA "OCEAN GRABBING"

Oleh Muhamad Karim

Dosen Universitas Trilogi Jakarta/

Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Salah satu sumber daya kelautan yang strategis dan vital yaitu perikanan. Kini stok sumber daya ikan (SDI) Indonesia mencapai 12,54 juta ton (KKP, 2016). Stok sumber daya ikan tersebut meningkat pesat akibat kebijakan-kebijakan radikal dan progresif yang dijalankan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dibawah komando Susi Pudjiastuti. Kebijakan tersebut antara lain pemberantasan illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF). 

Beragam kebijakan dikeluarkan antara lain pelarngan kapal eks asing, pelarangan transhipement, pelarangan pukat harimau, dll. Meskipun ada beberapa pihak yang menentang kebijakan tersebut dengan beragam dalih, mulai dari soal kekurangan bahan baku, pengangguran hingga klaim kesejahteraan nelayan yang merosot. 

Sayangnya, para penentang kebijakan KKP itu kerapkali dibumbuhi kepentingan politik sesaat. Padahal kebijakan-kebijakan KKP itu sejatinya ingin mensejahterakan nelayan dari tindakan kejahatan perikanan yang oleh Bennet et al (2015) disebut sebagai ocean grabbing. Perampasan ruang laut dan sumber daya nya.

Tatakelola Perikanan

Meminjam konsep ekologi ekonomi yang dibangun oleh Dillon (2010) dikaitkan dengan konteks kebijakan pemberantasn IUU Fishing yang dilakukan KKP, maka dapat dikonstruksikan, pertama, sumber daya perikanan di Indonesia sifatnya sebagai akses terbuka (open acces), akan tetapi dalam pengelolaannya mesti mempertimbangkan aspek keberlanjutan yang telah menjadi salah satu pilar pembangunan kelautan dan perikanan. 

Stok sumber daya ikan (SDI) sebagai modal sumber daya alam, bila terus ditangkap tanpa batas, otomatis akan mengalami deplesi berkelanjutan dan tidak berkelanjutan. Imabsnya, bakal mempengaruhi sumber kehidupan mayoritas masyarakat (nelayan) yang menggantungkan hidupnya pada SDI.

Kedua, pemberantasan IUU Fishing ala pemerintah dalam prakteknya telah menerapkan etika sosial dan lingkungan agar sumber dayanya  tidak menyejahterahkan sekelompok pemilik modal (capitalist). Tetapi, menseyejahterakan mayoritas rakyat di wilayah pesisir (nelayan) yang habitus dan sumber penghidupannya bergantung pada sektor tersebut. 

Pemerintah juga mengedepankan pemanfaatan dan pengelolaan yang berkelanjutan dengan melarang penggunaan alat tangkap yang merusak yang merupakan varian dari pukat harimau (trawl) dan penangkapan lobster, kepiting dan rajungan secara bebas. 

Tujuannya agar sumber daya perikanan dan ekologinya tetap berlangsung sesuai prinsip metabilosme alam.

Ketiga, kebijakan KKP yang melarang trashipment ikan hasil tangkapan di tengah laut dan eks kapal ikan asing beroperasi bebas di perairan Indonesia jadi instrumen mencegah prinsip perdagangan bebas komoditas perikanan yang menimbulkan  efek ketidakberlanjutan. 

Hal ini dikarenakan pelaku transhipment hanya mementingkan pribadinya, dan mengeruk keuntungan tanpa batas disertai dukungan informasi yang memadai. 

Akibatnya, mereka mengabaikan kondisi sosio-ekologi yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat (terutama nelayan dan masyarakat adat) dan instrumen kelembagaan yang berlaku formal (peraturan perundangan) dan non-formal (hukum adat).

Keempat, kebijakan KKP yang mengedepankan pilar keberlanjutan, kemakmuran dan kedaulatan sejalan dengan cara pandang de-growth dalam pengelolaan sumber daya ikan yang tidak bersifat eksploitatif. 

Konsep de-growth bukan berarti tanpa pertumbuhan ekonomi, tetapi lebih mengedepankan prinsip steady state sehingga tercipta redistribusi sumber daya secara adil dan merata. Hal ini akan menyebabkan sumber daya ikan sebagai modal alamiah tidak akan mengalami degradasi secara signifikan dan perbaikan hidup masyarakat pesisir (terutama nelayan) secara kualitatif  akan terjamin. 

Hal ini juga tidak berbeda secara substantif dengan pemikiran Hatta (1960) yang menekankan bahwa pertumbuhan pendapatan nasional tidak bisa dipandang sebagai "aggregative thinking", melainkan lebih menekankan upaya memperbesar kemakmuran rakyat  secara adil dan merata sebagaimana cita-cita UUD 1945. 

Kemudian Bung Hatta mempertegas bahwa dalam menjalankan dan mengelola perekonomian nasional Indonesia lebih mengutamakan prinsip  kedaulatan ekonomi yang sekarang menjadi salah satu pilar KKP dalam menjalankan kebijakannya. 

 Hatta (1967) menyatakan bahwa kedaulatan ekonomi berisikan "kemampuan masyarakat dan bangsa dengan semangat berdikari, memiliki individualitas, oto-aktivitas, memiliki harga diri, kepercayaan pada diri sendiri serta jiwa bangsa yang berkepribadian". Bung Hatta melanjutkan bahwa isi dari kedaulatan ekonomi tersebut merupakan bentuk perwujudkan dari "mencerdaskan kehidupan bangsa yang sangat erat dengan pengembangan dan pembangunan pengusaha kecil".

Sementara itu, dalam konsep Gray (2005) tata kelola perikanan dibagi dalam tiga model yaitu: pertama, tatakelola perikanan yang bersifat hirarkis (Hierarchical Governance). 

Model tatakelola yang bersifat hirarkis ini sangat berpusat pada negara  (state centries). Dengan perkataan lain tatakelola sumber daya perikanan bersifat direktif (directive) yang mengedepankan aturan main yang dibuat Negara. 

Model tatakelola perikanan semacam bersifat top-down yang lebih menekankan legalitas, legitimasi politik, sentralistik,  birokratis, intervesionis, bersifat komando dan kontrol, serta elitis secara ilmiah (scientific elitism) dan eksklusif, sehingga peka terhadap pertanggungjawaban publik. 

Dalam model ini dibangun dengan idiologi yang bersifat "administrative rationalism" atau memercayakan pada para ahli perikanan untuk menyusun tatakelolanya (leave it to the expert).

Gray (2005) mengutip pendapat Viet dan Dubbink (1999) yang memberikan kritik atas  model tatakelola yang bersifat hirarkis karena akan melahirkan tiga kemungkinan yaitu: (1) Negara sangat memonopoli pengetahuan soal perikanan, sementara pemangku kepentingan lainnya hanya lebih berkontribusi untuk memberikan pemahaman soal ekosistem laut; (2) Negara  tidak memonopoli keputusan (judgement) terkait hak penindakan dalam masalah perikanan, namun pemangku kepentingan lain  yang akan lebih banyak memberikan alternatif penindakan; dan (2) Negara sama sekali tidak memonopoli kekuasaan untuk menegakan penindakan.

Kedua, model tatakelola perikanan yang mengutamakan tatakelola dalam mekanisme pasar (Market Governance). Model tatakelola semacam ini berdasarkan kekuatan alamiah supply dan demand yang mengikuti teori ekonomi klasik, Adam Smith. 

Teori ini mengasumsikan bahwa kepentingan individual secara ekonomi harus mendapatkan perlindungan hak hidup, kebebasan dan kepemilikan. Karakteristtik idiologis dari model tatakelola semacam ini adalah "rasionalisme ekonomi" (economic rationalism) atau menyerahkan kepada mekanisme pasar (leave it to the market).

Ketiga, model tatakelola perikanan yang bersifat partisipatoris (Participatory Governance). Model tatakelol perikanan yang bersifat partisipatoris ini berdasarkan pada idiologi pargamatisme demokrasi (democratic pragmatism) atau sepenuhnya menyerahkan kepada kedaulatan rakyat (leave it to the people). Model tatakelola perikanan semacam ini  terbagi atas empat sub-tipe yaitu (1) tatakelola sumber daya perikanan melalui kemandirian dalam pengelolaan industrinya (Industry self-regulation); 

(2) tatakelola sumber daya perikanan yang mengedepankan kolaboratif (co-management) dari berbagai pemangku kepentingan 

(3) tatakelola perikanan yang bersifat yang mengutamakan keterlibatan dan kemitraan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya perikanan (Community partnership) dan

(4) Tatakelola perikanan yang mengedepankan tanggungjawab dalam pemanfaatan dan keberlanjutan sumber daya perikanan termasuk konservasinya sehingga melindungi sumber daya tersebut secara alamiah (environmental stewardship). 

Jika kita menganalisis kebijakan KKP yang meberantas IUU Fishing, maka dapat dikategorikan sebagai model tatakelola yang ketiga dan dikombinasikan dengan model pertama karena peran yang negara dalam menegakkan aturan bagi pelarangan kapal eks asing, dan pelarangan transhipment di tengah laut. 

Sementara, model keempat dapat ditemukan dalam kebijakan larangan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan pelarangan penangkapan lobster, kepting dan rajungan agar menjamin keberlanjutan dan kelimpahan sumber daya tersebut secara alamiah. Dengan kebijakan-kebijakan KKP yang demikian selama 2014-2019, setidaknya mengurangi tindakan perampasan ruang laut dan sumber dayanya (ocean grabbing). 

Kita berharap dalam pemerintahan 2019-2024, kebjakan semacam ini berlanjut dan lebih baik lagi hasilnya. Semoga!.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun