Anak-anak terbiasa dengan ancaman, ketakutan, dan menuruti dan mengiyakan semua perintah dan aturan, tanpa diberi ruang dalam berekspresi, berpendapat, dan bertanya banyak hal. Oleh sebab itu, pentingnya untuk banyak berdiskusi dan berkompromi kepada anak mengenai pembelajaran bukan asal memberi tugas yang tidak bermakna. Sebab, hal ini tergantung pada kesadaran guru apakah menjadikan anak didiknya menjadi manusia merdeka atau penurut perintah saja.
Mereka yang terbiasa bergerak perintah dari luar yang bukan berasal darinya, tanpa tahu maksud dibaliknya, membuat daya kritis serta kepercayaan diri mereka akan mati. Mereka tidak tahu mana yang salah dan benar, dan bila tahu apa yang benar, anak tidak punya keberanian untuk mengungkapkan dan mempertanggungjawabkannya, memilih tidak usah banyak bicara, lebih baik diam saja, lebih aman, yang penting atasan (guru) senang (generasi ABS), meski ada hal yang bertentangan.
Akhirnya, anak menjadi mesin pelaksana perintah. Mereka tidak punya kemandirian, dan kreativitas dalam memutuskan untuk melakukan apa yang diinginkan di kemudian hari, karena anak bergantung pada pemberi perintah. Ketika diberi kebebasan, tampaknya mereka masih bingung karena mereka terbiasa tergerak oleh karena perintah orang lain.
Berbeda dengan anak yang diberi kebebasan dalam bidang yang diminati, dia mungkin akan ada perasaan senang belajar, mencoba belajar dari kesalahan dan kegagalan, bertanggung jawab atas pilihan yang dipilih, sehingga anak tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan merdeka. Penjabaran tersebut bermaksud sebagai salah satu poin penting dalam memberi kemerdekaan anak dalam belajar.
Kembali mengingat kondisi pandemi, anak harus menjaga imunitasnya dan tidak boleh terlalu capek dalam menuntaskan beban tugas yang terlalu banyak, karena kesehatan harus menjadi prioritas. Guru sekolah hendaknya bisa kerjasama terbuka dan diskusi dengan orangtua dalam pembelajaran daring yang selaras dengan keadaan anak di rumah serta memahami kondisi individu anak baik secara fisik dan mental.
Guru seharusnya memacu kreativitasnya bagaimana menerapkan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan dengan mengaktifkan kemampuan sosial dan emosional anak tidak hanya sisi akademis saja sehingga anak tidak jadi mesin pelaksana tugas semua pelajaran di tiap harinya.
Guru seharusnya aktif dalam menumbuhkan minat belajar, memberikan kemerdekaan dalam belajar dan aktif berperan menumbuhkan potensi anak, bukan untuk memenuhi tugas dan kompetensi saja apalagi membuat anak aktif mengerjakan setiap hari yang monoton dan membosankan yang pada akhirnya anak jadi tertekan dan malas belajar.
Guru dan anak seharusnya sebagai mitra yang sejajar, guru tidak bertindak posisi di atas (top-down), merasa berkuasa dan serba tahu sehingga dengan mudah memerintah anak didik dengan tugas yang tidak berkualitas. tidak menganggap posisi anak dibawah, seolah anak tidak tahu apa apa, tapi sebenarnya mereka mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, tapi rasa ingin tahu itu dikubur dengan lontaran, “kerjakan tugas saja, biar dapat nilai”, “ayo tingkatkan lagi belajarmu lagi agar nilaimu tidak jelek”, "ada yang ditanyakan?" tapi hampir tidak ada yang berani bertanya, karena mungkin takut, tidak paham, atau tidak antusias belajar dan bertanya.
Berilah tugas yang bisa menciptakan karakter anak, bukan mendidik anak seperti kerbau dungu yang hanya menurut saja. Anak layaknya robot yang melaksanakan perintah dan guru layaknya rentenir yang menagih utang tugas anak yang belum dikumpulkan.
Rajin belajar bukan berarti mempelajari dan menghafal semua buku teks pelajaran sekolah, atau asal menurut perintah tanpa tahu alasan dan pembelajaran di belakangnya. Makna rajin belajar seharusnya lebih ditekankan anak belajar apa saja yang menarik, banyak bertanya, kritis, menambah pengetahuan yang kontekstual, dsb. sehingga bisa dikatakan mereka sedang aktif dan haus belajar dalam mendapatkan ilmu.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan tidak seharusnya menuntut pemenuhan standar dan kompetensi kurikulum kepada guru selama pandemi, guru sebagai pelaksana pendidikan seharusnya juga memaklumi kondisi dan tidak menuntut anak didik untuk memenuhi nilai tugas jika dirasa terlalu membebani anak, jika terlalu banyak tuntutan dan beban tugas akan berdampak kepada anak didik sebagai penerima pendidikan sekolah.