Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Kurasi Buku: Lima Buku Relevan di Masa Pandemi (Bagian 2)

10 April 2020   09:38 Diperbarui: 11 April 2020   22:15 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah membaca beberapa buku yang saya bagikan di kurasi bagian pertama? Ketiga buku tersebut memang kebetulan saya beli dalam bentuk bahasa Inggris, begitu pula tautan yang saya bagikan. 

Namun dua buku di antaranya, The Death of Expertise dan Factfulness, sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan bisa ditemukan di toko-toko buku terdekat.

Dua buku berikutnya yang relevan dengan masa pandemi saat ini adalah:

Skin in The Game -- Nassim Nicholas Taleb

Foto Buku: Dokumentasi Pribadi
Foto Buku: Dokumentasi Pribadi
Taleb merupakan penulis buku Black Swan, sebuah buku "ramalan" yang menjadi bestseller dan dipuji banyak orang karena dianggap sangat berkaitan (dan bisa memprediksi) krisis keuangan di tahun 2007. 

Dilihat dari beberapa bukunya, menurut saya Taleb memiki satu gaya khas: argumen inti bukunya pendek dan cenderung kurang positif (tidak berarti negatif), dengan fakta-fakta (dan opini) tajam pendukung. 

Bila Black Swan memiliki argumen singkat "sistem itu kompleks dan sesuatu bukan berarti nggak ada hanya karena kamu belum pernah melihat sesuatu (dalam hal ini angsa hitam)", maka Skin in The Game juga punya premis yang sederhana: 

Jika kamu nggak menanggung risiko (keputusanmu), ya kamu nggak berhak mengambil keputusan itu. 

Ada beberapa contoh di mana Taleb terfokus pada mengkritik pemerintah, bahwa menurutnya para anggota DPR di Amerika Serikat tidak seharusnya berada dalam posisi pengambil keputusan untuk perang; ya karena mereka nggak akan terdampak perang itu sendiri, mereka rapat di ruang ber-AC, pulang bisa tenang bertemu keluarga (hmmm sepertinya familiar?). 

Jauh berbeda kondisinya dengan para tentara yang dikirim ke medan perang dan rakyat AS yang harus "merelakan" pajaknya untuk persenjataan.

Di luar kritik pemerintahan, Taleb memang cenderung tidak setuju secara eksplisit (berkesan seperti marah-marah) pada kondisi "asimetris" dalam hidup. 

Motivator, menurutnya, juga harus bertanggung jawab atas "kerugian" yang diderita orang yang mendengarkannya, jika motivasi yang diberikannya tidak memberikan kesuksesan atau keberhasilan yang dia klaim. 

Di beberapa bagian Taleb juga banyak memuji "praktisi" ketimbang "pemikir" seperti ilmuwan, semacam mendewakan pengalaman dibanding pengetahuan saja; sesuatu yang ada benarnya namun saya tidak 100% setuju juga, keseimbangan itu penting menurut saya.  

Skin in The Game menjadi relevan dengan kondisi kita di masa sulit ini karena ada banyak dilema yang muncul dan kadang kita tak bisa membayangkan konsekuensinya. 

Kita bisa saja SANGAT mendukung kerja dari rumah karena kita bisa melakukannya, namun tentu pendapat ini lain cerita dari mereka yang bekerja harian dan informal, mereka yang punya skin in the game. 

Ketidaksimetrisan ini juga yang membuat kita merasa semacam kurang empatik (atau insensitif) ketika mengeluh bosannya #dirumahaja; padahal ada banyak orang yang terpaksa keluar rumah karena pekerjaan dan penghasilan. Kita nggak salah, situasi ini sulit untuk kita semua; namun mengetahui kenyataan lain di luar sana; we feel bad, right? 

Pada praktiknya, tidak semua pengambil keputusan memang bisa berbagi risiko yang sama dengan yang terdampak; karenanya sangat penting untuk mendengarkan dengan seksama dan membawa mereka yang menanggung risiko itu ke prosesnya untuk membuat keputusan yang tidak berat sebelah.

Everybody Lies: What The Internet Can Tell Us About Who We Really Are - Seth Stephens-Davidowitz

Foto Buku: Dokumentasi Pribadi
Foto Buku: Dokumentasi Pribadi
Buku ini tidak hanya relevan untuk masa pandemi namun lebih luas lagi ke masa internet dan konektivitas ini. Stephens-Davidowitz mengulik data pencarian Google untuk memahami bagaimana sesungguhnya kepribadian manusia, di balik fasad media sosial. 

Menurutnya, apa yang kita katakan secara publik atau di media sosial kebanyakan bertolak belakang dengan pencarian yang kita lakukan di mesin pencari (tidak perlu tersinggung ya hihi) dan bahwa tren pencarian dan hubungan antar informasi yang tersedia di internet itu bisa memberikan pemahaman yang menarik yang mungkin tidak bisa kita dapatkan dengan cara survey konvensional/bertanya.

Tren pencarian dan korelasi data di internet ini cukup relevan dengan kondisi yang kita hadapi saat ini. 

Stephens-Davidowitz memberikan sebuah contoh di AS, seorang enjinir Google menyadari bahwa data terkait laju penyakit flu (influenza) selalu dirilis tunda (telat). 

Ia berpikir dan menemukan bahwa tren pencarian gejala flu di Google punya kaitan dengan angka persebaran penyakit ini dan mungkin bisa memberikan informasi yang lebih cepat dan akurat untuk rumah sakit atau klinik yang jelas perlu mengantisipasinya. 

Tentu tren yang diamatinya ini perlu mendapatkan analisa mendalam, mengingat dalam setiap kumpulan data bisa terdapat data yang bukan kelompoknya (outlier).

Jika di buku ini lebih banyak fokus di tren pencarian Google, di Indonesia yang bisa kita lihat di masa pandemi adalah riuhnya media sosial dengan berbagai inisiatif: pembuatan masker kain, distribusi sembako dan bahan pangan, hingga model-model lockdown lokal; plus berbagai kekurangan yang perlu ditanggulangi. 

Pengambil kebijakan bisa sekali mengumpulkan dan menganalisa informasi dan data itu untuk memperkaya sistem penanganan pandemi, misalnya pooling semua pembuat masker kain dan distribusinya sehingga bisa memperkirakan kebutuhan masyarakat plus bagaimana distribusinya ke daerah yang belum punya sumber cukup. Atau melihat efektivitas lockdown lokal dengan tingkat persebaran, bisa nggak?   

Atau jangan-jangan, melihat tren pencarian Google soal "gejala COVID19" justru bisa memberikan estimasi untuk membantu merekam data mereka yang terpapar namun tanpa gejala dan nggak dites?

Model birokrasi dan alur informasi yang cukup ribet memang kadang membuat pengumpulan data terhambat; jadi mengapa tidak mencoba memanfaatkan "percakapan" di media sosial ini? ******

Selamat melanjutkan membaca, dan tetap jaga kesehatan ya!

Salam,
Citra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun