Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Kembali (Surat-surat) Kartini

29 Maret 2020   19:39 Diperbarui: 29 Maret 2020   19:52 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Wikimedia Commons

Meski telah banyak membaca kutipan (quotes) dari Kartini atau tentang Kartini, juga dengan sedemikian populernya kumpulan surat Kartini (utamanya di bulan April), Habis Gelap Terbitlah Terang; saya baru menyelesaikan (terjemahan) kumpulan surat itu tahun lalu. Benar-benar menyelesaikan, membaca satu per satu 77 surat Kartini yang dikumpulkan oleh J.H. Abendanon.

Menyelesaikan surat-surat itu membuat saya tercenung cukup lama.

Betapa kita mengingat Kartini mungkin hanya karena seremonial Hari Kartini yang dirayakan setiap tahun. Bahwa kita sebatas tahu di permukaan dan mungkin tak jarang meragukan mengapa ia yang secara simbolis "dipilih" Soekarno menjadi pahlawan nasional, aktivis emansipasi perempuan. Tak sekali dua kali pula saya mendengar bahwa Kartini terlalu ditinggikan karena desakan Belanda, untuk memperbaiki citra mereka.

Membaca surat-surat Kartini, satu demi satu, membuka mata saya akan dimensi-dimensi perjalanannya yang barangkali terlalu pendek untuk dirangkum hanya sebagai "raden ayu yang mendukung pemberdayaan dan pendidikan bagi perempuan, yang kemudian meninggal muda."

"Minim" Pencapaian Semasa Hidup

Sebagai seseorang yang ditokohkan sebagai aktivis emansipasi perempuan, sebenarnya apa yang dicapai Kartini semasa hidupnya memang minim. Sekolah formal khusus perempuan (keputrian) pribumi pertama di Indonesia yang diberi nama Sekolah Kartini, justru berdiri setelah Kartini wafat. Sekolah ini juga dipelopori oleh kawan-kawan bersurat Kartini semasa ia hidup.

Tahun 1903, ia dan kedua adiknya memang membuka "sekolah" di Jepara, sebuah awalan yang menjanjikan. Tak berapa lama, ia dipinang oleh Bupati Rembang. Pindah ke sana, Kartini juga membuka ruang-ruang di pendopo kabupaten untuk belajar, itu pun singkat masanya karena umurnya yang tak panjang.

Kontribusinya yang terlihat secara fisik memang sedikit bukan?

Namun membaca surat-suratnya pada kawan-kawannya orang Belanda, kita baru bisa memahami kegundahan Kartini akan ketimpangan antara Barat dan Timur, priyayi dan rakyat biasa, laki-laki dan perempuan. Kegundahan yang terus muncul dalam surat-suratnya selama bertahun-tahun. Kartini merasa terganggu dengan ketimpangan yang ia lihat, rasakan, alami, dan amati.

Ia yang terlahir di keluarga ningrat, punya kemewahan untuk bersekolah, belajar bahasa Belanda, dan bertemu dengan pejabat-pejabat pemerintah kolonial Belanda di masa itu. Ayahnya memang terbilang "liberal", ia memperbolehkan Kartini melanjutkan belajarnya di rumah setelah ia tak lagi boleh bersekolah di usia 12 tahun, usia perempuan untuk dipingit. Begitu pula kakak-kakak laki-lakinya, terutama Sosrokartono yang disebut jenius, mereka banyak berdiskusi dengan Kartini dan memberikan buku-buku untuk dibaca.

Dari ujaran Kartini yang tersurat dan tersirat dalam beberapa suratnya, saya bisa menangkap bahwa sosok lelaki dalam keluarganya adalah sosok-sosok berpikiran terbuka yang bertolak belakang dengan budaya patriarki di masa itu. Kartini memang penuh rasa ingin tahu dan cerdas, dan para lelaki dalam keluarganyalah yang menjadi "bahan bakarnya" untuk berpikir maju dan jauh. Sekolah ala-ala yang dibuatnya di rumahnya di Jepara, juga berdiri karena dukungan keluarganya.

Ia menyebutkan dalam salah satu suratnya pada Mevrouw Ovink-Soer (hanya bertanggal 1900), "Kakek (saya) adalah seorang pionir, hampir setengah abad yang lalu. Ia memberikan pendidikan Eropa untuk anak-anaknya, laki-laki dan perempuan."

Pendek kata, Kartini dibesarkan oleh keluarga progresif dan (menurut istilah masa kini) feminis. Dan pola pikir, pandangan tajam, serta ide-idenya mengenai perlunya pendidikan untuk perempuan dan untuk semua kalangan inilah yang tidak serta merta terlihat dari jejak fisik sebuah sekolah; melainkan dalam rangkaian kata di surat-suratnya.

Ironisnya, tidak ada rekaman sejarah pemikirannya yang luar biasa itu tertuang dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa. Korespondensinya dalam bahasa Belanda, yang kemudian saya baca kumpulannya justru dalam bahasa Inggris.

 Pendidikan dan Ekonomi

Salah satu pemikiran Kartini yang juga selalu konsisten dalam surat-suratnya adalah kesadarannya akan privilege (kemewahan dan keistimewaan) yang ia miliki dan juga keterbatasannya sebagai perempuan. Ia tahu bahwa ia terlahir di keluarga bangsawan dan karenanya ia memiliki akses pada pendidikan (meski terbatas) dan koneksi pada orang-orang Belanda, termasuk pejabat pemerintahan. Ia menggunakannya dengan baik: ia tak malu bercakap-cakap dengan para pejabat Belanda itu (dan istrinya), bertanya tentang hal-hal yang tak ia pahami, hingga meminta bantuan dan dukungan mereka untuk ide-idenya.

Dan Kartini menyadari, bahwa privilege ini tidak dimiliki oleh rakyat biasa, ia tak lupa itu. Dalm surat-suratnya ia juga berkali-kali menggarisbawahi pentingnya pendidikan dan bagaimana perempuan terdidik akan mendorong kesejahteraan keluarga. Ia (dan kedua adiknya) sudah memiliki visi yang jelas tentang pemberdayaan perempuan: sebagai ibu dan sumber pengetahuan pertama dalam hidup seorang anak, perempuan haruslah memiliki pengetahuan yang luas.

Ia pernah menyinggung pula intensi pemerintah kolonial Belanda untuk "mengajarkan" pengelolaan finansial pada orang-orang Jawa yang dimulai dari para pejabat pribumi (laki-laki). Kartini menulis, "Tapi apa bagusnya jika hanya para (pejabat) laki-laki yang diberikan pengetahuan tentang menabung, bila para perempuan yang justru mengelola kondisi rumah tangga dan segala tetek-bengeknya tidak mengerti nilai dan maksud uang yang disimpan itu?"

Jelas bagi Kartini, pendidikan dan pengetahuan punya peran penting untuk peningkatan kesejahteraan dan ekonomi masyarakat, ia memikirkan nasib kalangan rakyat biasa yang tak terjamin ekonominya seperti ia dan keluarganya.

Lebih jauh lagi, Kartini juga menganalisa bahwa kesejahteraan masyarakat di Jawa (dan Indonesia), bisa membaik dengan mendorong peningkatan kualitas produk lokal, memahami sistem pasar, dan membangun jejaring. Adiknya, Roekmini, berencana belajar mengenai seni di Belanda. Kartini, setelah menikah, mengundang perajin-perajin berkualitas ke Rembang untuk mengajarkan ini pada masyarakat, sembari mengenalkan mereka dengan pengepul-pengepul dan penjual. Ia berniat membangun industri seni.

Cukup lama sebelum Kartini merealisasikan sekolah perempuannya, ia sudah banyak bergaul dengan para perajin dan pengukir. Ia memfasilitasi mereka dengan (semacam) pendidikan ekstra dan menghubungkan mereka dengan banyak orang, yang mungkin dilatarbelakangi akan keinginannya untuk memajukan daerahnya, juga untuk lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang di luar "kastanya". Kartini memiliki pandangan bahwa pemikirannya yang progresif, atau pengalamannya bersekolah; tak banyak berdampak jika justru masyarakat luas tak mendapatkan hak-hak untuk kebutuhan dasar, termasuk pendidikan.

Kiprahnya di dunia seni bagaikan dua mata koin: ia mencintai dunia yang modern (pendidikan ala Barat, ketersambungan, keterbukaan dunia luar) dan di sisi lain, ia juga ingin melestarikan budayanya.

Cinta Keluarga dan Hidup yang (Terlalu) Singkat

Banyak yang mempertanyakan, "Bila Kartini memang seprogresif itu, mengapa ia iya-iya saja dinikahkan muda, menjadi istri kesekian pula?"

Dalam surat-suratnya, jelas terlihat bahwa Kartini memiliki rasa sayang yang teramat sangat pada ayahnya. Benar, ayahnya memang seorang Jawa ningrat yang progresif. Meski demikian, sang ayah pernah mengungkapkan bahwa ia tak keberatan anak-anak perempuannya bersekolah lebih tinggi dan lebih jauh, namun bila mereka menemukan seseorang yang tepat, ia lebih ingin anaknya menikah.

Dan Kartini mengetahui hal ini. Dilema berat, memang.

Kartini menuliskan kegundahannya ini dalam beberapa suratnya, termasuk pada Mejuffrouw Stella Zeehandelaar (tertanggal 23 Agustus 1900), "Stella, aku sering mengatakan bahwa aku sangat menyayangi ayahku. Aku tak tahu apakah aku punya keberanian dan kenekatan untuk mengejar impianku (kebebasan dan pendidikan), karena itu akan membuatnya sedih, mematahkan hatinya, yang penuh cinta untuk anak-anaknya."

Dan dalam kegundahan itu, ketika akhirnya Kartini melihat potensi dari lelaki yang mengajukan lamaran untuknya, potensi bahwa sang calon suami bisa menjadi mitra untuk tetap mewujudkan mimpi dan visinya; Kartini mengatakan iya.

Dan benarlah, bersama suaminya, ia bisa merealisasikan sedikit dari ide-ide besar dan luar biasanya yang dimilikinya sejak lama.

Sedikit, di sepanjang hidupnya yang singkat. Namun dari surat-suratnya yang seakan tak ditulis oleh perempuan Jawa di masa itu; ia telah meletakkan fondasi tertulis dan jelas tentang aspirasinya untuk para perempuan dan masyarakat banyak.

Melihat kemiripan pandangan dan caranya menuangkan pikir dalam tulisan, mungkin Soekarno melihat Kartini dalam dirinya sendiri saat ia memutuskan menetapkan Kartini sebagai pahlawan nasional emansipasi wanita.

Salam hangat,

Marlistya Citraningrum

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun