Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Kembali (Surat-surat) Kartini

29 Maret 2020   19:39 Diperbarui: 29 Maret 2020   19:52 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Wikimedia Commons

Pendek kata, Kartini dibesarkan oleh keluarga progresif dan (menurut istilah masa kini) feminis. Dan pola pikir, pandangan tajam, serta ide-idenya mengenai perlunya pendidikan untuk perempuan dan untuk semua kalangan inilah yang tidak serta merta terlihat dari jejak fisik sebuah sekolah; melainkan dalam rangkaian kata di surat-suratnya.

Ironisnya, tidak ada rekaman sejarah pemikirannya yang luar biasa itu tertuang dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa. Korespondensinya dalam bahasa Belanda, yang kemudian saya baca kumpulannya justru dalam bahasa Inggris.

 Pendidikan dan Ekonomi

Salah satu pemikiran Kartini yang juga selalu konsisten dalam surat-suratnya adalah kesadarannya akan privilege (kemewahan dan keistimewaan) yang ia miliki dan juga keterbatasannya sebagai perempuan. Ia tahu bahwa ia terlahir di keluarga bangsawan dan karenanya ia memiliki akses pada pendidikan (meski terbatas) dan koneksi pada orang-orang Belanda, termasuk pejabat pemerintahan. Ia menggunakannya dengan baik: ia tak malu bercakap-cakap dengan para pejabat Belanda itu (dan istrinya), bertanya tentang hal-hal yang tak ia pahami, hingga meminta bantuan dan dukungan mereka untuk ide-idenya.

Dan Kartini menyadari, bahwa privilege ini tidak dimiliki oleh rakyat biasa, ia tak lupa itu. Dalm surat-suratnya ia juga berkali-kali menggarisbawahi pentingnya pendidikan dan bagaimana perempuan terdidik akan mendorong kesejahteraan keluarga. Ia (dan kedua adiknya) sudah memiliki visi yang jelas tentang pemberdayaan perempuan: sebagai ibu dan sumber pengetahuan pertama dalam hidup seorang anak, perempuan haruslah memiliki pengetahuan yang luas.

Ia pernah menyinggung pula intensi pemerintah kolonial Belanda untuk "mengajarkan" pengelolaan finansial pada orang-orang Jawa yang dimulai dari para pejabat pribumi (laki-laki). Kartini menulis, "Tapi apa bagusnya jika hanya para (pejabat) laki-laki yang diberikan pengetahuan tentang menabung, bila para perempuan yang justru mengelola kondisi rumah tangga dan segala tetek-bengeknya tidak mengerti nilai dan maksud uang yang disimpan itu?"

Jelas bagi Kartini, pendidikan dan pengetahuan punya peran penting untuk peningkatan kesejahteraan dan ekonomi masyarakat, ia memikirkan nasib kalangan rakyat biasa yang tak terjamin ekonominya seperti ia dan keluarganya.

Lebih jauh lagi, Kartini juga menganalisa bahwa kesejahteraan masyarakat di Jawa (dan Indonesia), bisa membaik dengan mendorong peningkatan kualitas produk lokal, memahami sistem pasar, dan membangun jejaring. Adiknya, Roekmini, berencana belajar mengenai seni di Belanda. Kartini, setelah menikah, mengundang perajin-perajin berkualitas ke Rembang untuk mengajarkan ini pada masyarakat, sembari mengenalkan mereka dengan pengepul-pengepul dan penjual. Ia berniat membangun industri seni.

Cukup lama sebelum Kartini merealisasikan sekolah perempuannya, ia sudah banyak bergaul dengan para perajin dan pengukir. Ia memfasilitasi mereka dengan (semacam) pendidikan ekstra dan menghubungkan mereka dengan banyak orang, yang mungkin dilatarbelakangi akan keinginannya untuk memajukan daerahnya, juga untuk lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang di luar "kastanya". Kartini memiliki pandangan bahwa pemikirannya yang progresif, atau pengalamannya bersekolah; tak banyak berdampak jika justru masyarakat luas tak mendapatkan hak-hak untuk kebutuhan dasar, termasuk pendidikan.

Kiprahnya di dunia seni bagaikan dua mata koin: ia mencintai dunia yang modern (pendidikan ala Barat, ketersambungan, keterbukaan dunia luar) dan di sisi lain, ia juga ingin melestarikan budayanya.

Cinta Keluarga dan Hidup yang (Terlalu) Singkat

Banyak yang mempertanyakan, "Bila Kartini memang seprogresif itu, mengapa ia iya-iya saja dinikahkan muda, menjadi istri kesekian pula?"

Dalam surat-suratnya, jelas terlihat bahwa Kartini memiliki rasa sayang yang teramat sangat pada ayahnya. Benar, ayahnya memang seorang Jawa ningrat yang progresif. Meski demikian, sang ayah pernah mengungkapkan bahwa ia tak keberatan anak-anak perempuannya bersekolah lebih tinggi dan lebih jauh, namun bila mereka menemukan seseorang yang tepat, ia lebih ingin anaknya menikah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun