Mohon tunggu...
Cipta Mahendra
Cipta Mahendra Mohon Tunggu... Dokter - Dokter yang suka membaca apapun yang bisa dibaca.

Kesehatan mungkin bukan segalanya, tapi segalanya itu tiada tanpa kesehatan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Refleksi Covid-19: Bertahan Hidup

24 April 2021   00:58 Diperbarui: 24 April 2021   01:34 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jumlah penduduk dunia dan proyeksi untuk masa depan. Sumber: ourworldindata.org/world-population-growth 

Setahun lebih sudah pandemi Covid-19 melanda dunia. Masih belum usai peperangan kita sebagai umat manusia melawan virus yang sudah membawa kematian global lebih dari sejuta jiwa. Tidak hanya manusia yang berjibaku, pontang-panting berhadapan dengan Covid-19, virusnya sendiri pun juga terus sibuk mengutak-atik diri, mencari siasat untuk semakin menguatkan virulensinya dan menambah jumlah korban manusia. 

Terus saja bermunculan huruf-huruf dan angka baru yang menandai varian virus famili coronaviridae ini... Bahkan sampai muncul pula sebuah varian 'EEK', yang membuat saya spontan teringat dengan sebuah kata (dan imaji) yang menggambarkan sesuatu yang jorok nan kotor.

Sempat pula beredar kabar sentimen rasis terhadap etnis Asia di negara-negara Barat, terutama di Amerika Serikat (AS). Penyerangan-penyerangan terhadap orang keturunan Asia disinyalir atas dasar motif pandemi Covid-19; kemunculannya dikabarkan berasal dari sebuah pasar ikan di Wuhan, China. 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah melakukan penyelidikan untuk melihat asal usul virus tersebut, namun tampaknya hingga kini laporan tersebut masih belum begitu jelas. Nuansa politik begitu kental terkait virus ini... tidak hanya sekadar permasalahan sains semata. Kita tentu sudah sering membaca atau mendengar 'percekcokan' dua negara rival (abadi?) - AS dan China - atas pandemi Covid-19. 

Masing-masing menuduh pihak lawan yang pertama kali menyebarkan virus ini ke seantero dunia. Permasalahan itu merembet sampai pada permasalahan vaksinnya, yang tampaknya juga bisa saja menjadi komoditas bernilai politik. 

Barter tahanan politik dengan vaksin, blokade akses vaksin, dan embargo vaksin saya lihat di berita-berita beredar pernah (dan - mungkin - sedang) terjadi. Australia pun, seperti biasa, ikut ambil bagian dalam keriuhan asal muasal Covid-19 dengan menjadi negara pertama yang mengusulkan investigasi untuk hal dimaksud.

Selain Covid-19, kabar perubahan iklim global juga semakin bergaung di media massa. Anomali cuaca yang semakin dahsyat, banjir besar dan badai siklon yang terjadi, dan bahkan sampai fenomena turun salju di tempat-tempat yang seharusnya tidak pernah turun salju telah terjadi. 

Di koran kompas sendiri, beberapa kali di rubrik sains, kesehatan, dan teknologinya mengupas hal-hal itu. Termasuk juga soal emisi karbon, yang sampai sekarang masih menjadi negosiasi alot di kalangan politisi global; persoalan yang berkelindan antara demi alam dan demi ekonomi (serta gengsi).

Sejak pandemi Covid-19 terjadi, secara pribadi pun saya juga merasa sangat direpotkan. Sebelum pandemi, hidup terasa plong... jauh lebih sederhana dan damai. Mau keluar rumah, tinggal jalan kaki saja. Tidak pernah terpikir masker, hand sanitizer, penyakit, ini dan itu lah... Bertemu teman juga leluasa, bebas pergi kesana kemari tanpa rasa waswas. Sekarang? Anda bisa merasakannya sendiri tentunya.

Bertahan Hidup

Saya pernah membaca sebuah ulasan di Kompas beberapa waktu lalu, yang membahas tentang wabah Covid-19 dan kaitannya dengan 'usaha' alam untuk melakukan normalisasi ekosistem planet ini. Pada awal masa dimulainya penyebaran virus, kualitas udara menunjukkan perbaikan yang sangat signifikan. 

Aktivitas manusia yang pada waktu itu dapat dikatakan hampir lumpuh total membuat level emisi menurun drastis. Langit pun juga menunjukkan rona kebiruannya dengan sangat indah pada saat itu. Alam raya seakan kembali pada masa keemasannya, masa saat campur tangan manusia belum mengganggu segi-segi keindahan siklus dan perputaran ekosistem abadinya.

Sejak awal masa pembentukan sampai sekarang ini, Bumi kita tidak mengalami pertambahan isi dan ukuran; semuanya segitu-gitu saja, hanya berputar dalam siklus abadi dan berubah bentuk atau wujud. Tidak demikian halnya dengan populasi manusia, yang kian waktu kian bertambah populasinya. Bisa dilihat dalam gambar di tulisan ini (world population growth, 1700-2100), jumlah penduduk mulai menanjak tajam sejak sekitar tahun 1950. 

Saat itu, jumlah manusia di dunia ini baru 2,5 miliar jiwa. Kurang dari 100 tahun kemudian, tahun 2019, jumlahnya menjadi 7,7 miliar! Fantastis... Semakin sesak saja planet ini. Ibaratnya, rumah kecil yang luas dan jumlah lantainya sebelumnya ideal untuk dihuni 1 keluarga kecil - ayah, ibu, 1-2 anak - kini dipaksa harus cukup untuk dihuni 3-4 keluarga kecil. Sempit sekali bukan?

Ini menjadi masalah besar sebetulnya. Di gambar itu pula bahkan sudah diproyeksikan juga bahwa penduduk Bumi akan terus bertambah, tidak tahu apakah akan pernah bisa menurun, plateau pun entah. Bagaimana caranya mengatasi ini? Solusinya secara logis hanya dua: memperbesar planet ini atau mengurangi jumlah penduduknya. Ukuran dan sumber daya planet tidak akan bisa bertambah (tidak mungkin akan ada kejatuhan air, bibit/tanaman baru, atau apapun itu dari atas langit kan?). Otomatis yang akan terjadi adalah pengurangan jumlah mulut yang harus diberi makan.

Di sinilah kita bisa mengingat kembali intisari 'ajaran' Charles Darwin - ilmuwan biologi sekaligus bapak evolusi - survival of the fittest. Alam raya tampaknya menganut hal ini sebagai nilai universalnya. Di tengah keterbatasan ruang hidup dan sumber daya dan semakin banyaknya jumlah penghuni, kompetisi tidak terhindarkan. Mereka yang masih ingin melanjutkan hidup dan mendapat makanan harus bersaing ketat dengan para pencari makan lain. 

Ibarat hunger games, yang akan bertahan adalah yang paling kuat dan cerdas, yang mengerti bagaimana bisa mendapat makanan dan mencegah pesaingnya memperoleh makanannya lebih dulu. Nilai alam ini pun juga sudah sejak lama termanifestasikan dalam hubungan dan fenomena sosial antar manusia. 

Kita lihat sendiri bagaimana keadaan dan status manusia yang beragam di dunia ini. Mereka yang bekerja keras dan berhasil unggul memiliki hidup yang lebih sejahtera dan makmur; mereka yang tidak mempu dan kalah bersaing terpaksa menerima keadaan hidup pas-pasan dan terhimpit hutang sana-sini. Ini mungkin terdengar kejam, namun inilah realitas yang teramati. Hal ini berlaku global, tidak hanya di Indonesia. Persaingan adalah hal tak terhindarkan; alam dan sosial, keduanya sama-sama mengamini prinsip itu.

Bahkan tidak jarang juga kita melihat hal-hal terkaitnya. Persaingan ketat nan sengit bisa membuat orang melakukan apa saja untuk bertahan dari kekalahan. Berbuat jahat pun tidak masalah asal bisa bertahan dan hidup dalam kenyamanan dunia. Menipu sana dan sini... menyuap si anu dan ono demi prospek untung yang berlipat... menjadi mafia... apapun demi uang. Oh uang... yang tanpanya, hidup sama saja dengan mati. Ini pun juga ada persaingan, antara yang menipu dan ditipu, yang menyuap dan disuap. Adu pintar... Seberapa lihai yang menipu agar bisa meyakinkan dan memperdaya korbannya, seberapa pintar yang dicoba untuk ditipu agar jeli dan ngeh bahwa dirinya sedang ditipu.

Covid-19 pun - menurut saya - bisa dilihat sebagai hal demikian. Alam sedang meradang dan 'marah' dengan manusia yang terus merusak keelokkannya. Ia sadar manusia semakin banyak jumlahnya, yang artinya semakin menguras kemampuannya untuk bernapas dan bertahan hidup dari kehancuran. 

Ia pun akhirnya 'mencoba menciptakan' sesuatu yang bisa menekan populasi manusia untuk menghambat laju kerusakan dirinya ini (dengan asumsi bahwa virus Covid-19 memang ada karena sebab natural, bukan diciptakan atau 'dikonspirasikan'). Terbukti, sampai sekarang dunia masih dibuat kewalahan dengan virus itu. 

Nyawa-nyawa masih terus melayang. Masyarakat masih banyak yang dirundung kesulitan ekonomi akibat hilang pekerjaan. Tidak jarang pula itu memunculkan situasi keterpaksaan orang yang terkena untuk menyimpang demi kelanjutan hidup; menjadi pengedar narkoba, merampok toko, menipu dalam bisnis, dan sebagainya. Virus baru muncul: virus kejahatan.

Tidak cukup dengan tekanan alam dan sosial, tekanan dalam diri bahkan juga ikut-ikutan menambah kompleksitas hidup. Isolasi berkepanjangan membuat perasaan kesepian dan depresi muncul, tidak terelakkan. Ini menyerang semua lapisan, tidak hanya di kalangan orang lanjut usia (lansia) saja tetapi juga termasuk generasi muda dan produktif. Manusia sebagai makhluk sosial tentu membutuhkan orang lain sebagai napas hidupnya. Keberadaan (presence) orang membuat diri merasa hidup, lepas sejenak dari kepenatan tuntutan hidup dan pekerjaan rutin yang dilakoni setiap hari. Di saat pekerjaan dan hidup memang sudah banyak bermasalah dan banyak persaingan - sikut kiri sikut kanan, pandemi semakin menambah beban, tidak hanya ancaman kesehatan diri tetapi juga mental. Sulitnya hidup jadi manusia.....

Jadilah Cerdas

Nasi sudah menjadi bubur. Pandemi sudah terjadi. Masalah baru bertambah. Mau tidak mau, kita harus jadi orang cerdas untuk bisa bertahan hidup. Virus Covid-19 sedang sibuk mencari mangsa di luar sana, memburu mereka yang tidak awas dan lemah untuk ditidurkan selamanya. 

Orang-orang yang menjaga protokol kesehatan dengan baik dan konsisten - pakai masker, cuci tangan, jaga jarak, hindari kerumunan - serta menjalani gaya hidup sehat yang akan mampu bertahan dari ancaman pandemi ini. Mereka yang lengah - tidak peduli, tidak sadar, tidak banyak wawasan seputar Covid-19 - akan kalah dari virus ini, tersingkir dari kompetisi bertahan hidup. Mereka yang tidak banyak pengetahuan untuk menjaga kesehatan akan tersesat dan jatuh dalam gaya hidup yang berisiko, memperbesar peluang kesakitan dan memperpendek usia hidup mereka sendiri.

Hal serupa juga berlaku untuk virus kejahatan dan ancaman kesehatan mental. Orang-orang yang banyak membaca dan mendengar akan mendapat banyak ilmu dan menjadi senjata untuk menjaga diri dari upaya-upaya penipuan dan penghasutan yang memanfaatkan ketidaktahuan dan kelengahan mangsanya. 

Orang-orang yang menguasai ilmu strategi dan beladiri akan menjadi cerdik dan kuat untuk menjaga fisik diri dari upaya-upaya pergulatan fisik oleh orang-orang jahat (misal: perampok/maling) di luar sana yang mencoba menaklukan lawan-lawannya. 

Orang-orang yang berpikiran terbuka dan kritis akan mendapat insight dan mampu menilai secara objektif untuk segala permasalahan yang ada; orang-orang ini tidak akan mudah terhasut dan mudah menghakimi orang lain. 

Orang-orang yang berpikiran positif dan punya segudang cara untuk mengisi hidup akan lebih mampu bertahan dari badai kebosanan dan menghalau perasaan hampa dan depresi di tengah tempaan bertubi-tubi cobaan hidup.

Sebagai contoh kasus konkrit all-in-one-case yang berpotensial untuk penerapan prinsip-prinsip 'jadilah cerdas' ini, kasus kekerasan bersentimen rasisme yang terjadi di AS bisa menjadi bahan refleksi. Adanya pandemi membuat sebagian orang yang terdampak disana mengalami kesulitan hidup dan akhirnya merasa harus mencari sesuatu atau seseorang yang bisa menjadi kambing hitam untuk kesulitan yang dialaminya itu. Media-media massa setempat deras memberitakan China sebagai tempat pertama kemunculan Covid-19, termasuk pula hasutan-hasutan negatif dari mantan presiden AS itu, Donald Trump, bahwa China harus bertanggung jawab untuk pandemi ini. 

Bagi orang-orang berpikiran sempit/cetek, pemberitaan itu menjadi bensin yang menyalakan api dendam, api besar yang mencari mangsa untuk menunjukkan panas hebatnya. Jadilah orang-orang etnis Asia - yang dilihat mereka sebagai bentuk (badan) konkrit 'China' yang mereka benci itu - dibantai. Agak ironis sejatinya... karena etnis yang diserang bukan hanya China, tetapi juga 'menyiprat' ke etnis-etnis lain seperti Korea dan Vietnam. Mungkin karena corak wajah yang mirip... entahlah.

Untuk orang-orang etnis Asia yang menjadi 'mangsa' bagi orang-orang cetek ini, mau tidak mau harus menjadi cerdas. Selain mereka harus menjaga ketat protokol kesehatan dan pikiran positif terhadap wabah Covid-19 untuk hidup dan mental mereka sendiri, mereka juga harus cerdik untuk mengantisipasi ancaman serangan yang menghantui. Ilmu beladiri akan sangat berguna untuk dikuasai orang-orang ini agar bisa memberikan perlawanan dan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan akibat serangan tersebut. 

Mereka juga harus banyak wawasan dan insight agar bisa mengerti motif di balik tindak penyerangan itu dan tidak melakukan 'balas dendam' untuk menyerang balik kaum yang pernah melukai mereka itu, serta menyerahkan kasus terkait ke proses hukum untuk diadili sesuai hukum yang berlaku (tidak main hakim sendiri). Dengan demikian, mereka tidak sama dengan orang-orang 'cetek' penyerang itu tadi. Mereka lebih beradab dan berwawasan, menjadi manusia unggul yang tahan uji dan cobaan.

Tidak ada zona aman yang abadi dalam hidup ini. Ancaman-ancaman selalu ada yang datang setiap saat dan menuntut kita untuk beradaptasi dan bertarung. Mereka yang cerdas akan menang dan menaklukan ancaman tersebut, sementara mereka yang lengah dan tidak awas atau jeli akan kalah dan tersingkir dari persaingan hidup.

Patuhi protokol kesehatan. Jangan lengah. Jadilah cerdas!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun