Pemerintah Indonesia menempatkan penghapusan kemiskinan ekstrem sebagai agenda prioritas dalam RPJMN 2025–2029, sekaligus bentuk komitmen pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Namun, pertanyaannya sederhana sekaligus berat: mampukah Indonesia benar-benar menuntaskan kemiskinan ekstrem hingga nol persen? Target ini bukan sekadar slogan, melainkan pertaruhan besar mengenai keberanian, strategi matang, dan keberpihakan nyata kepada rakyat paling rentan.
Fakta dan Data Kemiskinan Ekstrem di Indonesia
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terbaru kemiskinan nasional melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025. Hasilnya menunjukkan tingkat kemiskinan turun menjadi 8,47 persen, lebih rendah dibanding 8,57 persen pada September 2024. Jumlah penduduk miskin pun berkurang menjadi sekitar 23,85 juta jiwa. Pada saat yang sama, kemiskinan ekstrem tercatat hanya 0,85 persen atau sekitar 2,38 juta orang. Meski tren ini menggembirakan, kebutuhan akan program pemberdayaan masyarakat masih sangat besar. Sementara itu, jika menggunakan standar internasional Bank Dunia, kemiskinan ekstrem di Indonesia diperkirakan masih dialami sekitar 15,42 juta orang atau 5,5 persen dari populasi.
Angka Turun, Realitas Belum Banyak Berubah
Turunnya angka kemiskinan memberi sinyal positif bahwa Indonesia sedang berada di jalur yang benar dalam menekan kemiskinan ekstrem. Peran pemerintah melalui berbagai program bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), stabilitas ekonomi, serta terkendalinya inflasi ikut membantu menjaga daya beli masyarakat rentan.
Namun seraya angka menyusut, realitas kehidupan sehari-hari bagi sebagian warga miskin belum juga banyak berubah. Anak-anak terpaksa berhenti sekolah karena biaya yang terus meningkat, ibu-ibu kesulitan memenuhi kebutuhan pangan dasar, rumah-rumah tak layak dan tanpa akses air bersih masih bertahan di banyak sudut desa dan kota kecil.
Strategi Pemerintah dalam RPJMN 2025–2029
Pemerintah tidak tinggal diam. Dengan alokasi dana mencapai Rp 503,2 triliun, program perlindungan sosial dan pemberdayaan masyarakat sedang diintensifkan. Melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025, koordinasi lintas kementerian dan daerah diarahkan untuk mengatasi kemiskinan ekstrem lewat tiga pilar utama:
- Mengurangi beban dasar masyarakat dengan jaminan sosial dan bantuan sosial tepat sasaran.
- Meningkatkan pendapatan melalui pelatihan keterampilan kerja, perluasan akses migran kerja, dan penciptaan peluang usaha.
- Menurunkan kantong-kantong kemiskinan dengan perbaikan rumah tidak layak huni dan pembangunan infrastruktur sosial dasar di kawasan terpencil.
Paradigma baru yang kini diterapkan pemerintah menekankan pada pemberdayaan masyarakat, bukan lagi sekadar penyaluran bantuan. Untuk itu, penguatan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) menjadi prioritas agar setiap program benar-benar tepat sasaran.
Pemerintah juga memperluas sinergi dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil, untuk memperkuat pelaksanaan program pengentasan kemiskinan. Pendekatan inovatif seperti digitalisasi data penerima bantuan dan sistem monitor real-time mulai diterapkan untuk memastikan efisiensi dan akurasi penyaluran bantuan sosial.
Selain itu, peran masyarakat sangat ditekankan dalam pemberdayaan ekonomi, misalnya melalui pelatihan keterampilan berbasis potensi lokal dan pemberian akses pendanaan mikro yang lebih mudah dijangkau. Program pengembangan UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) dan pelibatan perempuan dalam wirausaha juga menjadi fokus untuk menciptakan kemandirian ekonomi jangka panjang.