Mohon tunggu...
Cindy Carneta
Cindy Carneta Mohon Tunggu... Sarjana Psikologi

Saya merupakan seorang Sarjana Psikologi dari Universitas Bina Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Reset, Bukan Bubarkan DPR

4 September 2025   11:06 Diperbarui: 4 September 2025   21:04 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto demo tanggal 25 Agustus 2025 di depan gedung DPR (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S via Kompas.comd)

Lebih ironis lagi, seorang pejabat DPR minta maaf setelah rumahnya dijarah. Baru setelah mereka "merasakan miskin", maka baru munculah kesadaran. Apakah selama ini mereka lupa, berjuta rakyat sudah lama dijarah secara sistematis oleh kebijakan yang timpang dari pemerintah?

Diamnya Moral Ganda Ormas

Ketika pejabat ormas agama terancam, mereka cepat mengambil sikap. Tapi ketika pejabat yang disumpah atas kitab suci justru korupsi, mereka diam seribu bahasa. Ini menciptakan moral ganda keras ke bawah, lunak ke atas. Pertanyaan pun muncul, siapa sebenarnya yang dijaga? Kitab sucinya, umatnya, atau kekuasaannya?

Jangan Siramkan Bensin ke Api

Di situasi panas seperti sekarang, ucapan pejabat bukan sekadar kata-kata. Ia bisa jadi bensin bagi percikan api yang sudah menyala. Sayangnya, banyak pejabat yang justru tone deaf, seperti tidak peka terhadap suasana batin rakyat-rakyatnya, bahkan seolah hidup di dimensi lain.

Contoh saja dalam kasus baru-baru ini, pernyataan Ahmad Syahroni yang menyebut desakan "bubarkan DPR" sebagai mental "orang tertolol sedunia". Alih-alih meredam ketegangan, ucapan ini justru memperkeruh keadaan. Rakyat yang sedang frustrasi merasa diremehkan, bahkan dihina. Tak heran, amarah massa akhirnya meledak sampai ke rumah pribadinya. Peristiwa ini menunjukkan betapa berbahayanya retorika sembrono. Ia bisa mengubah keresahan menjadi kemarahan kolektif yang tak terkendali.

Pejabat sering lupa bahwa setiap kata yang mereka lontarkan punya bobot politik sekaligus psikologis. Satu kalimat bisa menenangkan situasi, tapi bisa juga menyulut kerusuhan. Dalam kondisi krisis, rakyat butuh empati, bukan ejekan. Butuh solusi, bukan sindiran. Butuh kepekaan, bukan kesombongan.

Karena itu, pejabat publik seharusnya menimbang setiap kata dengan hati-hati. Jangan berkomentar seolah sedang bercanda di ruang privat, sementara jutaan orang di luar sana sedang menanggung beban hidup yang berat. Kata-kata bisa saja menjadi jembatan, tapi bisa juga jadi korek api dalam kobaran. Dan pilihan itu sepenuhnya ada di mulut para pejabat tu sendiri.

Reset untuk Masa Depan

DPR tidak perlu dibubarkan, tapi perlu direset. Reset ini bukan sekadar makeover politik, melainkan reformasi menyeluruh yang berpijak pada tuntutan rakyat.

Tuntutan 17+8 yang kini digaungkan rakyat sejatinya bukan sekadar daftar keinginan, melainkan merupakan refleksi dari krisis kepercayaan. Isinya menyentuh hal-hal fundamental seperti penghapusan UU yang merugikan rakyat, perlindungan buruh dan petani, penuntasan kasus korupsi, penegakan HAM, hingga jaminan pendidikan dan kesehatan yang terjangkau. Tambahan delapan tuntutan lain menyoroti urgensi kedaulatan pangan, penghentian kriminalisasi aktivis, pengelolaan SDA yang adil, dan penghentian monopoli oligarki.

Kalau dicermati, tuntutan ini bukanlah hal baru, melainkan sebagiannya sudah dijanjikan sejak era reformasi. Namun yang membuatnya relevan kembali adalah kenyataan pahit bahwa DPR lebih sering menjadi corong kepentingan elite ketimbang jembatan bagi rakyat-rakyatnya. UU disahkan dengan kilat ketika menyangkut investasi, tapi molor bertahun-tahun jika berkaitan dengan hak rakyat.

Oleh karena itu, reset DPR harus dibangun dengan fondasi yang konkret, antara lain:

  • Seleksi transparan berbasis rekam jejak, agar rakyat memilih dengan mata terbuka, bukan cuma dari baliho setengah badan.
  • Larangan tegas bagi kandidat dengan catatan korupsi, supaya kursi DPR bukan zona comeback politisi busuk.
  • Batasan gaji realistis, agar DPR paham rasanya hidup dengan standar rakyat kebanyakan, bukan hidup di menara gading.
  • Mekanisme pengawasan publik yang aktif dan terbuka, termasuk akses rakyat terhadap rapat-rapat dan voting, biar tidak lagi ada keputusan yang hanya berpihak pada segelintir orang.

Kalau butir-butir itu selaras dengan tuntutan yang tertuang di dalam 17+8, maka DPR akan berhenti menjadi singkatan sinis Dewan Pembeban Rakyat. Ia bisa berubah menjadi dewan yang benar-benar berdiri di pihak rakyat, mengembalikan makna "perwakilan" yang selama ini terkaburkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun