Mohon tunggu...
Cindy Carneta
Cindy Carneta Mohon Tunggu... Sarjana Psikologi

Saya merupakan seorang Sarjana Psikologi dari Universitas Bina Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Reset, Bukan Bubarkan DPR

4 September 2025   11:06 Diperbarui: 4 September 2025   21:04 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto demo tanggal 25 Agustus 2025 di depan gedung DPR (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S via Kompas.comd)

Di tengah gelombang ketidakpercayaan publik terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), muncul satu seruan yang sering terdengar, "Bubarkan DPR!". Kedengarannya heroik, tapi sebenarnya tidak menyentuh ke akar masalahnya. Yang lebih tepat bukanlah membubarkan, melainkan mereset DPR. Membuatnya kembali ke fungsi awal, yaitu dewan perwakilan rakyat, bukan dewan pembeban rakyat.

Mengapa Reset, Bukan Bubarkan?

Membubarkan DPR hanya akan menimbulkan kekosongan baru. Sistem demokrasi bagaimana pun rapuhnya pasti akan tetap membutuhkan lembaga perwakilan. Masalahnya bukan pada konsep, melainkan pada kualitas eksekusinya. Kita selama ini memilih "kucing dalam karung". Foto setengah badan di baliho, jargon normatif andalan, plus keturunan politikus senior yang kursinya diwariskan layaknya perusahaan keluarga.

Bayangkan kalau proses pemilihan anggota DPR direset ulang. Setiap kandidat wajib mengunggah CV dan rekam jejaknya secara terbuka, mulai dari pengalaman kerja, organisasi, integritas, bahkan sampai ke riwayat kasus hukum (kalau ada). Rakyat bisa menilai sejak awal, bukan hanya dari wajah penuh senyum palsu di baliho. Transparansi ini penting agar publik tidak lagi terkecoh oleh nama besar, popularitas semu, atau "tongkat estafet keluarga".

Tan Malaka pernah berkata, "Kepentingan rakyat tidak akan pernah bisa diwakilkan oleh orang-orang yang tidak hidup seperti rakyat." Itu artinya, wakil rakyat seharusnya benar-benar tumbuh dan hidup bersama rakyat, bukan hidup dalam kemewahan dari hasil pajak rakyat.

DPR yang Hidup Seperti Rakyat

Saya sempat berdialog terkait issue ini dengan seorang direktur dari perusahaan IT multinasional. Ia memiliki semangat dan mimpi menjadi anggota DPR, tapi dengan syarat, yaitu gaji seluruh anggota DPR setara dengan UMR. Alasannya sederhana, agar mereka merasakan realitas mayoritas rakyat. Tentu saja, banyak juga putra-putri bangsa punya semangat serupa yang dimana ingin mengabdi, bukan menggerogoti. Lantas pertanyaannya pun muncul, apakah sistem memberi ruang untuk orang-orang seperti itu?

Di sinilah fungsi reset menjadi penting. Kita butuh reformasi aturan main, agar DPR tidak jadi klub eksklusif bagi mereka yang punya uang, koneksi, atau trah politik.

Tuntutan Rakyat 17+8: Lebih dari Sekadar Angka

Beberapa waktu lalu, rakyat mengajukan "tuntutan 17+8". Di balik angka-angka itu, tersimpan keresahan mendasar tentang hak, kesejahteraan, dan keadilan. Sayangnya, pemerintah sering merespons dengan retorika kosong. Janji manis yang dikemas rapi, padahal implementasinya terkesan begitu minim.

Di era digital, rakyat tidak lagi butuh orasi panjang penuh jargon. Yang dibutuhkan adalah bukti nyata. Transparansi anggaran, kebijakan berbasis data, dan keberanian menindak elite yang salah. Kalau tuntutan rakyat direspons hanya dengan kata-kata, jangan salahkan kalau kepercayaan makin terkikis.

Demo Anarkis vs Pemerintah yang Selektif

Saya tidak mendukung demo anarkis. Kekerasan hanya akan memperbanyak luka. Tapi mari jujur bahwa demo anarkis sering kali bukan sebuah awal, melainkan reaksi dari pemerintah yang tuli. Ironisnya, kita baru tahu ternyata pemerintah bisa begitu mudahnya mematikan live TikTok dalam hitungan detik, tapi tak pernah secepat itu menghentikan judi online.

Logika sederhana rakyat, kalau bisa mematikan siaran rakyat yang marah, kenapa tidak bisa memutus aliran uang haram dari judi online? Jawabannya jelas, yaitu keberpihakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun