Aku belum mau pulang, rasanya hatiku masih panas, pikiranku masih kalut dan konsentrasiku berantakan. Aku tak berani nyetir juga tak berani pulang karena aku tahu akan banyak pertanyaan yang ditujukan padaku bila aku pulang dengan mata segede bagong.
"Hey, melamun ajak-ajak dong!"
Suara Bram lagi-lagi buyarkan lamunanku.
"Kamu itu apa sih Bram, di atas ganggu, di bawah ganggu. Mau kamu apa?"
"Gangguin kamu."
"Ga lucu, sana pergi!"
"Kamu usir aku?"
"Sebagai penulis seharusnya kamu paham intonasiku."
"Aku bukan penulis, dulu saat aku masih sekolah malah nilai Bahasa Indonesiaku selalu dikatrol, Bahasa Jawaku jauh lebih baik ketimbang Bahasa Indonesia. Nah Kalau sudah begitu biasanya nanti Bapak datang ke wali kelas mohon-mohon biar angka di rapotku jangan ada yang merah. Makanya aku dekat sama wali kelasku, sama istrinya juga. Aku suka..."
"Bisa berhenti cerita?"
"Aku kan cuma berusaha cairin Susana Dru"
"Dikira aku cerita mistis"
"Ya terus aku harus bagaimana?"
"Bagaimana apanya sih?"
"Biar kamu senyum."
Ah, Bram ini selalu begini. Sikap dia yang seperti ini yang aku tak bisa tolak. Aku selalu menyerah dengan segala usahanya.
"Kamu pulang Bram, Nadya tunggu kamu."
"Loh, terserah aku. Siapa kamu atur-atur aku?"