Putusan pengadilan terhadap Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan, menjadi salah satu titik krusial dalam penegakan hukum di sektor strategis Indonesia. Dengan vonis 4,5 tahun penjara, majelis hakim menyatakan bahwa Lembong telah menyalahgunakan kewenangannya dalam pemberian izin impor gula, yang kemudian menguntungkan pihak swasta dan menyebabkan kerugian negara hingga hampir Rp200 miliar. Meski tidak terbukti menikmati hasil korupsi secara pribadi, hakim menilai tindakan tersebut tetap melanggar prinsip hukum dan etika dalam pengambilan kebijakan publik.
Dari sudut pandang hukum, perkara ini membuktikan bahwa penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan pihak lain tetap masuk dalam kategori tindak pidana korupsi. Pasal-pasal yang digunakan dalam vonis, termasuk Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, menegaskan bahwa korupsi tidak hanya terbatas pada penggelapan uang negara, tetapi juga pada keputusan yang menyalahi prosedur dan berdampak buruk pada kepentingan publik.
Pemberian izin impor gula kepada pihak swasta, yang seharusnya menjadi peran badan usaha milik negara (BUMN), menunjukkan lemahnya pengawasan dan ketidakpatuhan terhadap regulasi yang berlaku, seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Dalam konteks ini, keputusan yang diambil tidak hanya melanggar ketentuan hukum, tetapi juga mengabaikan prinsip demokrasi ekonomi dan peran negara dalam menjamin stabilitas harga pangan.
Kasus ini seharusnya menjadi refleksi mendalam terhadap tata kelola impor di Indonesia. Dibutuhkan reformasi menyeluruh dalam sistem regulasi, mulai dari kejelasan peraturan, transparansi proses, hingga pengawasan yang melekat sejak tahap awal pengambilan kebijakan. Audit yang dilakukan setelah pelanggaran terjadi sudah tidak cukup. Pemerintah perlu membangun mekanisme pengawasan berbasis teknologi, audit ex-ante, dan pelibatan publik secara aktif.
Lebih jauh, penegakan hukum tidak boleh berhenti pada pejabat negara. Pihak swasta yang turut menerima manfaat dari kebijakan tersebut juga harus dimintai pertanggungjawaban. Prinsip "equality before the law" harus diterapkan secara utuh. Jika hanya pejabat publik yang dijadikan kambing hitam, maka keadilan menjadi timpang, dan praktik korupsi akan terus berulang dalam bentuk lain.
Solusi jangka panjang juga mencakup penguatan transparansi dalam pengambilan keputusan publik. Proses pemberian izin impor, data kuota, dan pemilihan mitra usaha harus dipublikasikan secara terbuka agar masyarakat dapat berperan sebagai pengawas. Edukasi publik tentang pentingnya integritas dalam tata kelola pangan juga menjadi kunci mencegah pengulangan kasus serupa.
Vonis ini, meskipun terasa simbolis bagi sebagian orang, tetap memiliki nilai penting dalam memperkuat sistem hukum dan membenahi regulasi yang selama ini rawan disalahgunakan. Ia menjadi pengingat bahwa hukum harus berdiri tegak tidak hanya untuk menghukum, tetapi juga untuk menjaga martabat kebijakan publik. Dalam urusan pangan, yang menyangkut hajat hidup orangbanyak, keberpihakan hukum harus jelas kepada rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI