Entah sejak kapan pastinya aku mulai mengoleksi novel karya Pramoedya Ananta Toer ini, akupun sudah lupa.Â
Nah, yang pasti di deretan rak bukuku sudah terpampang setidaknya 11 novel baik yang memiliki ketebalan sedang hingga setebal bantal.Â
Jika ditanya bagaimana isi atau alur dari cerita novel-novel tersebut, sedikit banyak akupun sudah lupa.
Aku bukan tipe orang yang memiliki prinsip kuat sehingga banyak pemikiran Pak Pram ini merubah dan menguasai cara berfikirku. Aku hanya menyukai novel-novel lama seperti karya Pak Pram ini.Â
Banyak kata-kata yang mudah dipahami namun sangat menyayat hati. Seperti salah satu novel berjudul 'Midah, Simanis Bergigi Emas'. Bagaimana seorang wanita muda bergelut di jalanan pada era tahun 1950an tersebut.Â
Tak bisa kubayangkan bagaimana kejamnya kehidupan Midah kala itu. Seolah sosok Midah benar-benar nyata. Yang kuingat saat membaca novel tersebut hanyalah derai air mata membasahi pipiku.
Bagi pecinta novel temporer seperti aku ini sangat cocok karena bisa dengan santai sambil rebahan membacanya.Â
Saat novel berjudul 'Bukan Pasar Malam' dan 'Sekali Peristiwa di Banten Selatan' ini kubaca gambaran tentang kemiskinan dan kaum tertindas lebih banyak ditonjolkan.Â
Tidak heran jika karya-karya Pak Pram di era Orde Baru ini dilarang beredar karena ada ketakutan dari para penguasa akan adanya pemikiran-pemikiran untuk melawan pemerintahan.
Novel berjudul 'Cerita Calon Arang' menurutku juga sangat ringan. Novel yang hanya memiliki 92 halaman ini aku tidak memerlukan waktu lama untuk merampungkannya.Â