Mohon tunggu...
Christo Sylvano
Christo Sylvano Mohon Tunggu... Freelancer - Penerjemah dan Penulis Lepas

Saya suka menulis random topics sembari menikmati segelas teh melati.

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Ruang Hitam

24 Agustus 2023   15:16 Diperbarui: 24 Agustus 2023   15:21 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Alina Ananko: https://www.pexels.com/photo/empty-office-hallway-2294135/ 

Listrik tiba-tiba menyala. Untungnya sosok menyeramkan tadi pun menghilang. Aku menarik nafas lega sembari menangkupkan map merah ke dada yang ternyata tertekan oleh tanganku tadi. Sebuah bunyi notifikasi dari ponsel tertangkap telingaku. Aku langsung mengambilnya tanpa memperhatikan baterai yang sebentar lagi akan habis. 

Sedikit lagi. Mandi air panas dan teh hangat manis setelah ini. Pikiranku sudah membayangkan kegiatan yang menyenangkan setelah malam gila yang membuatku kelelahan. Aku mencoba berlari, tapi rasa sakit di pergelangan kaki kanan menghentikanku.  

Cring...

Aku terperanjat. Sebuah suara terdengar seperti gemerincing lonceng muncul dari belakang. Lalu semuanya menjadi lebih mengerikan saat suara tawa berat seorang pria yang sekejap saja berubah menjadi suara wanita bergema di sepanjang koridor. Aku tahu bahwa jaraknya tidak terlalu jauh dariku karena terdengar jelas di telingaku. Detak jantung yang sempat melambat kini berdegup cepat kembali. Aku menarik nafas lalu mengayunkan langkah ke depan, berpura-pura tidak mendengar suara-suara itu sembari menahan rasa sakit yang menyayat. Sosok itu berusaha menyamakan ritme langkahnya denganku. Semakin cepat aku berjalan, semakin cepat juga gemerincingnya terdengar.

Pandanganku jauh ke tangga yang kini berjarak sekitar lima meter saja. Aku mengeluarkan sumpah serapah saat lampu kembali padam. Ponselku bergetar dua kali. Pikiranku kacau, tapi aku tetap berjalan meskipun sebentar lagi ponselku mati. Akhirnya penglihatanku benar-benar dibutakan kegelapan. Suara tawa wanita tadi malah berubah menjadi gelak tawa anak-anak seakan-akan mengejek kemalanganku dan kebodohanku untuk mengabaikan kengerian ini.  

Aku menelan ludah. Suara gemerincing di belakangku tak terdengar lagi, padahal aku masih berjalan. Aku ingin menoleh, apakah sosok misterius itu, mungkin dia adalah sang hitam, penghuni ruangan misterius, masih ada disana? Apakah dia sudah bosan mempermainkanku? apa dia kasihan? apa dia menyerah karena aku tetap berjalan? pikiranku begitu kacau saat ini. Aku hanya ingin pulang, menikmati teh manis panas dan kasur yang empuk. Lolos dari kengerian ini.


Kedua telingaku lalu menangkap gumaman-gumaman samar yang campur aduk antara suara pria dan wanita. Tiba-tiba suara gemerincing tadi terdengar kembali, tapi kali ini ritmenya semakin cepat. Saat itulah aku tahu bahwa dia berusaha mengejarku. Aku mempercepat langkahku meskipun rasa sakitnya menjadi-jadi. Di dalam kegelapan yang menyelimuti aku merapal doa pada Tuhan agar bisa melihat terbitnya fajar di pagi hari. Aku belum siap mati hari ini dan tak ingin mati hari ini.

Sepertinya Tuhan bersedia menjawab doaku. Pendaran cahaya petir yang mengerjap cukup lama memperlihatkan posisi tangga yang sangat dekat. Suara langkah sang hitam semakin terdengar jelas di telingaku dan gumaman samar itu belum berhenti terucap. Saat jarakku hanya satu langkah dari anak tangga pertama, aku langsung melompat ke depan.  Tubuhku mendarat di beberapa anak tangga, membawaku berguling hingga berhenti di lantai yang rata. Rasa sakitnya menjalar di sekujur tubuhku, untung saja kepalaku tidak berdarah hebat.

Aku berdiri dengan susah payah di bawah pendaran cahaya lampu lantai dua. Lampu bersinar terang benderang disini, begitu pula di lantai atas saat aku melihatnya sekilas saja. Aku meringis kesakitan sembari menyusuri satu-persatu anak tangga ke lantai dasar. Disana, pak Surya berdiri seakan-akan sedang menunggu kedatanganku, sementara itu Wira sedang tertidur pulas di meja jaga.

"Lho, tak kira nggak jadi, mas?" kata pak Surya sambil melihat jam tangannya. Wajahnya terlihat kebingungan. "Ini udah jam tiga pagi. Tak kira sampean langsung pulang kemarin."

Aku terkejut, rasanya tak sampai setengah jam aku berada di atas sana. Aku memilih mengacuhkan pertanyaan itu karena rasa lelah yang mendera begitu hebat. Diluar sana hujan mulai berhenti, meninggalkan hawa dingin di subuh yang sepi. Seiring dengan langkah kakiku yang gontai, suara kokok ayam jantan berkumandang memberi tanda pada manusia bahwa pagi segera menyingsing. Aku berjalan melewatinya dan beranjak ke luar gedung Rektorat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun