Mohon tunggu...
Christina Susi Handayani
Christina Susi Handayani Mohon Tunggu... Guru/SD Tarakanita 5 Jakarta

Saya adalah seorang guru yang tidak ingin hanya menjadi guru saja, namun ada kelebihan lain yang harus saya miliki. Oleh karena itu saya senang mengembangkan diri saya dengan dan dari mana saja sumbernya yang penting cocok dengan hoby dan bermanfaat bagi saya. Saya senang menulis, saat ini saya sedang mengikuti beberapa buku antologi. Saya sudah memiliki beberapa buku antologi puisi dan satu buku antologi cerpen. Semoga saya bisa terus menulis dan menulis. Menulis itu sungguh mengasyikkan. Semangatttt!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kaca di Langit Senja

14 Oktober 2025   19:27 Diperbarui: 14 Oktober 2025   19:27 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Siluet gadis (sumber: Pixabay)

Jakarta sore itu sedang berkilau oleh cahaya matahari yang meredup. Di antara hiruk-pikuk lalu lintas dan bayang gedung tinggi, seorang gadis bernama Maya Ardianti berjalan dengan langkah ringan menuju kampusnya di bilangan Sudirman. Wajahnya lembut, terawat, dan sorot matanya menyimpan sesuatu yang jernih---sejernih kaca di bawah sinar senja.

Maya lahir dari keluarga kaya raya. Ayahnya seorang pengusaha properti ternama, ibunya sosialita yang sibuk mengurus yayasan kemanusiaan. Di kampus, Maya dikenal bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena keramahannya. Ia tidak pernah memperlihatkan kesombongan, meski semua orang tahu tas dan jam tangannya seharga satu semester kuliah.

Namun hidup, seperti halnya kaca, seringkali memantulkan bayangan yang tak disangka.

Pertemuan Pertama

Asmir datang ke kampus itu dengan sepeda motor tuanya yang sering batuk-batuk di pagi hari. Ia anak dari keluarga sederhana di Bekasi, kuliah sambil bekerja di kafe malam. Tatapannya tajam, suaranya berat, dan ada karisma diam-diam yang membuat Maya tertarik.

Pertemuan pertama mereka terjadi di perpustakaan. Maya sedang menyalin catatan, sementara Asmir---yang duduk di seberang meja---menatapnya sesekali.

"Maaf, ini... kamu udah pakai buku Ekonomi Makro yang ini?" tanya Asmir, sedikit gugup.

Maya menatapnya, tersenyum. "Belum, kamu boleh ambil dulu. Aku cuma lihat daftar isinya."

Senyum itu menyalakan sesuatu di dada Asmir. Sejak hari itu, mereka sering bertemu. Kadang di kantin, kadang di koridor fakultas, kadang tanpa sengaja di halte depan kampus. Hingga akhirnya, pertemuan-pertemuan kecil itu berubah menjadi kebiasaan yang sulit dilepaskan.

Cinta yang Tumbuh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun