Jakarta sore itu sedang berkilau oleh cahaya matahari yang meredup. Di antara hiruk-pikuk lalu lintas dan bayang gedung tinggi, seorang gadis bernama Maya Ardianti berjalan dengan langkah ringan menuju kampusnya di bilangan Sudirman. Wajahnya lembut, terawat, dan sorot matanya menyimpan sesuatu yang jernih---sejernih kaca di bawah sinar senja.
Maya lahir dari keluarga kaya raya. Ayahnya seorang pengusaha properti ternama, ibunya sosialita yang sibuk mengurus yayasan kemanusiaan. Di kampus, Maya dikenal bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena keramahannya. Ia tidak pernah memperlihatkan kesombongan, meski semua orang tahu tas dan jam tangannya seharga satu semester kuliah.
Namun hidup, seperti halnya kaca, seringkali memantulkan bayangan yang tak disangka.
Pertemuan Pertama
Asmir datang ke kampus itu dengan sepeda motor tuanya yang sering batuk-batuk di pagi hari. Ia anak dari keluarga sederhana di Bekasi, kuliah sambil bekerja di kafe malam. Tatapannya tajam, suaranya berat, dan ada karisma diam-diam yang membuat Maya tertarik.
Pertemuan pertama mereka terjadi di perpustakaan. Maya sedang menyalin catatan, sementara Asmir---yang duduk di seberang meja---menatapnya sesekali.
"Maaf, ini... kamu udah pakai buku Ekonomi Makro yang ini?" tanya Asmir, sedikit gugup.
Maya menatapnya, tersenyum. "Belum, kamu boleh ambil dulu. Aku cuma lihat daftar isinya."
Senyum itu menyalakan sesuatu di dada Asmir. Sejak hari itu, mereka sering bertemu. Kadang di kantin, kadang di koridor fakultas, kadang tanpa sengaja di halte depan kampus. Hingga akhirnya, pertemuan-pertemuan kecil itu berubah menjadi kebiasaan yang sulit dilepaskan.
Cinta yang Tumbuh