Percakapan yang ringan dan menarik itu terasa mengalir begitu deras, sampai saya dikagetkan oleh perkataan spontan Mas Agus Romli yang meminta sang pimpinan ludruk RRI Surabaya tersebut untuk mengajak saya bermain ludruk.
Dan anehnya, saya hanya bisa terdiam saja saat itu, lebih tepatnya membatu seperti patung yang tidak tahu harus menjawab apa. Ingatan saya pun langsung melayang dengan apa yang dikatakan almarhum kakek saya sebelum meninggal menurut penuturan Nenek kepada saya, yang mengatakan akan terlahir kembali menjadi seorang perempuan dan akan bermain ludruk.
Dengan berat hati saya langsung menyampaikan ke Bapak Agus Kuprit untuk memintakan izin kepada orang tua saya, apabila benar-benar serius mengajak saya bergabung dengan kelompok ludruknya, sesaat setelah saya memangkas lamunan singkat itu.
Tentu saja setelah menjelaskan bahwa saya sama sekali belum pernah bermain ludruk. Bahkan untuk kentrung pun pengalaman saya hanya sebatas rekaman saja dan belum pernah naik ke dalam sebuah panggung pertunjukan.
Beberapa hari setelah itu, kepala saya benar-benar berdenyut-denyut saat bapak saya dengan suka cita menyambut ajakan Bapak Agus Kuprit untuk saya bergabung ke dalam kelompok ludruknya.
Perbincangan Bapak dan sang pimpinan ludruk RRI Surabaya ketika itu memang benar-benar di luar dugaan saya, karena keduanya begitu cepat akrab seperti bertemu kawan lama.
Ya, suka ataupun tidak suka, siap maupun tidak siap, saya benar-benar memasuki dunia yang benar-benar baru dalam hidup saya, dan akhirnya saya pun resmi bergabung dengan ludruk RRI Surabaya pada tahun 2000.
Sejujurnya, saya benar-benar tidak siap. Saya tidak bisa menari dengan gemulai, tidak bisa menembang, tidak bisa merias wajah, tidak menguasai bahasa Jawa halus (kromo inggil) dan masih banyak lagi, yang sepatutnya dikuasai oleh seorang pemain ludruk.
Sempat saya sampaikan kepada Bapak Agus Kuprit perihal tersebut, namun dengan santainya beliau mengatakan bahwa nanti saya bisa belajar langsung kepada ahlinya di sana.
Dan benar saja, saat pertama kali naik panggung, saya pun diturunkan paksa, bahkan yang lebih memalukan lagi, mesti digendong turun dari panggung karena tidak tahu pergantian adegan pada pementasan perdana itu. Benar-benar One in a Million Moment yang tak pernah bisa saya lupakan.
*****
Malam itu saya memang tidak tahu apa yang mesti saya lakukan. Beruntung ada Ibu Susiati yang selalu berbaik hati membantu saya, seorang pemain ludruk sekaligus pegawai RRI Surabaya yang dikenalkan Bapak Agus Kuprit kepada saya sebelum saya ikut pementasan ludruk untuk kali pertama. Dari beliaulah, saya benar-benar banyak belajar bagaimana beradaptasi dalam lingkungan ludruk.
Saya juga memerhatikan dengan saksama tatkala dirias dan dibantu mengenakan jarik oleh seorang wanita setengah baya, yang kemudian saya ketahui bahwa beliau adalah salah seorang tim ludruk RRI Surabaya yang bertugas menangani kostum seluruh pemain ludruk, Mak Yah saya memanggilnya. Segera saya kenakan kebaya pemberian khusus dari Ibu Susiati malam itu, setelah dirias oleh Mak Yah.