Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kompasiana: Ruang Depolitisasi dan Penjinakan Publik?

17 Oktober 2025   19:14 Diperbarui: 17 Oktober 2025   19:14 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu jurnalis saat aksi bungkam memprotes aksi represi aparat terhadap jurnalis di depan Gedung DPRD Kota Malang (27/9/2019). (Kompas.com)

Kompasiana: Warisan yang Dibelokkan

Pada mulanya, Kompasiana adalah warisan moral dan intelektual dari Kompas sendiri. Dalam sejarahnya, istilah ini merujuk pada rubrik yang diisi oleh PK Ojong, salah satu pendiri Kompas, yang menulis dengan kejujuran dan tanggung jawab nurani.

Rubrik itu bukan sekadar opini, tapi merupakan refleksi atas moral publik, tempat Ojong menulis dengan kesadaran bahwa setiap kalimatnya menjadi kompas penuntun arah bangsa.

Maka, Kompasiana mula-mula adalah suara hati seorang jurnalis yang melihat media bukan sekadar sebagai industri informasi, melainkan sebagai alat untuk membentuk publik yang sadar, kritis, dan beradab.

Namun, ketika Kompasiana dihidupkan kembali dalam bentuk platform daring pada 2008, semangat asali itu semakin ke sini semakin mengalami pergeseran mendasar. Dari ruang moral seorang pendiri, berubah menjadi arena ekspresi massal yang disebut media warga.

Awalnya, ruang itu tampak progresif: publik diberi ruang menulis, berbagi pandangan, dan menafsir realitas dari sudut-sudut kehidupan yang tak dijangkau media arus utama. Tapi, dalam perjalanan waktu, cita-cita itu berbelok arah.

Kebebasan yang semula dijanjikan perlahan dikebiri oleh kebijakan internal yang tak kasatmata: kurasi, moderasi, dan penjinakan sistematis terhadap gagasan-gagasan yang berpotensi mengganggu stabilitas dan keamanan bisnis korporasi.

Apa yang tampak sebagai demokratisasi suara publik justru berubah menjadi mekanisme pengendalian halus. Ketika tulisan-tulisan reflektif-kritis yang menyinggung kekuasaan, korporasi, atau kebijakan mulai dikucilkan dari ruang tampil utama, baik secara eksplisit maupun lewat algoritma kurasi, yang tersisa adalah suasana aman, ringan, dan steril.

Kompasiana praktis menjadi ruang ekspresi tanpa risiko; forum dengan kebebasan bersyarat. Inilah paradoks paling ironis dari media warga yang mengaku mewakili publik: kelihatannya menjadi kanal kebebasan, tapi justru memadamkan daya kritis publik.

Dengan cara demikian, Kompasiana bukan lagi perpanjangan semangat awal yang lahir dari idealisme Ojong, tapi justru cermin dari fase degeneratif Kompas itu sendiri. Inilah fase di mana media bertransformasi dari penjaga nurani publik menjadi pengelola kenyamanan dan keamanan bisnis korporasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun