Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Membredel Ojong: Ketika Kompasiana Memilih Main Aman

13 Oktober 2025   16:36 Diperbarui: 13 Oktober 2025   21:11 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PK Ojong (Kompas.id)

Warisan Ojong yang Terlupakan

PK Ojong, salah satu pendiri Kompas, memulai rubrik yang kemudian dikenal sebagai Kompasiana pada 2 April 1966. Rubrik ini ditulis langsung olehnya dan menampilkan tulisan-tulisan yang reflektif dan kritis. 

Dalam rubrik tersebut, Ojong menulis tentang kehidupan sehari-hari, kebiasaan membaca, hingga isu sosial-politik yang berkembang pada masa itu.

Rubrik Kompasiana menjadi cerminan semangat Ojong: menjaga ruang bagi refleksi kritis, pemikiran independen, dan opini yang jujur. Meskipun disajikan dalam format kolom harian, ia mengedepankan keberanian intelektual sebagai prinsip dasar. 

Ini menjadi laboratorium bagi Ojong untuk mengembangkan gagasan yang autentik, di mana keberanian menulis sungguh dihargai.

Namun, pada 22 Februari 1971, Ojong menghentikan rubrik ini, sebagian karena tekanan politik yang membatasi kebebasan pers. 

Keputusan ini menegaskan komitmen Ojong terhadap integritas jurnalistik dan kebebasan berpendapat, bahkan ketika ia harus menyingkirkan dirinya sendiri dari ruang publik yang ia ciptakan.

Warisan moral yang ditinggalkan Ojong dalam rubrik Kompasiana seharusnya menjadi pedoman bagi generasi penerus. Namun, semangat kebebasan ini mulai memudar ketika platform digital modern mengambil alih nama tersebut. 

Ruang yang dulunya eksperimental dan kritis kini menghadapi tekanan institusional dan digital yang mengucilkan keberanian menulis.

Untuk menghormati warisan Ojong, Kompasiana perlu kembali menegakkan prinsip keberanian intelektual: menyediakan ruang yang adil bagi tulisan-tulisan kritis dan reflektif yang menantang arus utama tanpa takut terhadap konsekuensi administratif atau reputasi institusi.

Demokrasi Digital dan Fobia Institusional

Transformasi Kompasiana menjadi platform digital membawa peluang dan tantangan baru. Sejak 2008, nama Kompasiana dihidupkan kembali sebagai platform blog internal jurnalis Kompas, dan kemudian pada 2009 dibuka untuk publik sebagai media warga. 

Namun, modernisasi ini juga membawa risiko: moderasi konten dan algoritma menentukan visibilitas tulisan.

Ketakutan redaksi terhadap risiko hukum atau konsekuensi sosial dan politik mendorong pembatasan terhadap tulisan yang terlalu kritis atau kontroversial. 

Analisis tajam tentang kebijakan publik, pejabat, atau isu korporasi berpotensi dibatasi, meski substansinya valid. Fobia institusional ini menghambat keberanian warga menulis dan mengurangi keberagaman opini.

Paradoks demokrasi digital muncul ketika platform mengundang partisipasi, tetapi hanya tulisan "aman" bagi institusi yang bisa tampil di highlight dan headline. Ruang ini tidak lagi sepenuhnya publik; tapi dikontrol oleh pedoman internal yang tidak transparan. 

Akibatnya, warga belajar menulis dalam zona aman, menahan kritik penting demi keamanan.

Budaya self-censorship ini mengurangi fungsi Kompasiana sebagai laboratorium pemikiran kritis. Kreativitas reflektif warga tereduksi, dan keberanian menulis semakin tergantung pada pedoman internal. Kompasiana menghadapi risiko kehilangan peran historisnya sebagai ruang kritik autentik.

Dibutuhkan kebijakan moderasi yang adil dan transparan, serta komitmen etis dari redaksi untuk memberi ruang bagi tulisan berani. Dengan demikian, platform digital ini dapat kembali menjadi instrumen pendidikan publik dan demokrasi opini sejati.

"Pinggir Jurang": Laboratorium Kritik

Zona "pinggir jurang" adalah ruang kelahiran pemikiran kritis. Di sinilah warga menulis analisis tajam, menyingkap struktur kekuasaan, dan mengeksplorasi tafsir ideologis yang menantang arus utama. Di era Kompasiana modern, tulisan semacam ini sering dianggap berisiko.

Tulisan yang menantang status quo berisiko kehilangan visibilitas. Penulis kemudian cenderung berkompromi: mengurangi ketajaman argumen, menyederhanakan ide, atau memilih topik aman. 

Zona yang seharusnya menjadi laboratorium intelektual ini berubah menjadi area steril, menyajikan opini yang aman dan netral.

Budaya ini memengaruhi penulis: kreativitas reflektif dikerdilkan, keberanian menulis dibatasi oleh pedoman konservatif yang begitu pun tidak transparan. 

Laboratorium kritik yang berani hilang, dan fungsi pendidikan publik Kompasiana berkurang menjadi panggung yang "aman," bukan ruang eksperimen ide.

Hilangnya ruang "pinggir jurang" mengurangi keberagaman opini. Demokrasi digital yang sehat menuntut pertentangan ide konstruktif, bukan persetujuan mayoritas. Ketika opini yang berani dikerdilkan, platform ini kehilangan fungsinya sebagai ruang kritik sejati.

Mengembalikan ruang "pinggir jurang" berarti memberi ruang bagi warga untuk menulis tanpa takut dikucilkan. Hanya dengan itu, Kompasiana dapat kembali menjadi laboratorium refleksi yang menumbuhkan keberanian intelektual.

Otoritas Redaksi/Admin vs Otentisitas Warga

Konflik mendasar di Kompasiana adalah ketegangan antara otoritas redaksi/admin dan otentisitas warga. Nama besar Kompas kini sepertinya begitu menuntut reputasi dan keamanan bisnis untuk dijaga ketat, sementara warga menuntut kebebasan mengekspresikan ide kritis. Dua kutub ini sulit berdamai tanpa prinsip etis yang jelas.

Ketika redaksi menekankan reputasi dan keamanan bisnisnya sendiri, kontrol meningkat: penghapusan, pembatasan visibilitas, atau mungkin notifikasi pelanggaran. Tulisan yang otentik sering menjadi korban, sementara opini ringan terus dipromosikan.

Fenomena ini menciptakan hierarki nilai konten: keamanan institusi lebih penting daripada keberanian berpikir. Kreativitas kritis warga tereduksi, dan zona aman mendominasi, membatasi eksperimen intelektual. 

Platform yang lahir dari semangat kebebasan kini secara terselubung mengekang kebebasan itu sendiri.

Budaya ini mengubah cara warga menulis: mereka lebih menekankan keamanan algoritmik daripada keberanian intelektual. Zona aman mengurangi jumlah tulisan yang menantang arus utama, dan suara kritis menjadi minoritas.

Kompasiana harus menegaskan keseimbangan antara otoritas redaksi dan otentisitas warga. Jika tidak, platform ini akan kehilangan legitimasi sebagai ruang demokrasi opini yang berani dan reflektif.

Aspek Sosial-Digital: Algoritma sebagai Pengawas Baru

Era digital menambahkan lapisan sensor baru: algoritma. Tulisan yang terlalu kritis atau menantang narasi dominan bisa kehilangan visibilitas tanpa intervensi manusia. Sensor sosial berpindah ke lapisan digital: logika pemrograman menggantikan pertimbangan moral manusia.

Fenomena ini menimbulkan self-censorship digital: warga menyesuaikan gaya dan konten agar aman dari algoritma, bukan karena etika publik. Sensor digital ini bekerja bersamaan dengan moderasi institusional untuk membatasi keberanian intelektual.

Hierarki sosial-digital muncul: penulis yang mampu menyesuaikan diri dengan algoritma lebih terlihat, sementara mereka yang kritis tapi "berisiko" menjadi invisible. Ironisnya, kebebasan digital yang dijanjikan justru memperkuat homogenitas opini.

Algoritma juga memperkuat ketakutan institusi. Redaksi dapat membiarkan sebagian moderasi "otomatis" bekerja, sementara risiko reputasi tetap terjaga. Tekanan sosial dan digital bekerja bersamaan untuk mengkonstruksi zona aman yang membatasi refleksi kritis.

Dalam konteks ini, demokrasi digital menjadi paradoks: ruang publik dibuka, tetapi logika algoritmik dan pedoman konservatif membentuk batas yang membatasi keberanian warga. Kompasiana perlu menegakkan etika publik di atas logika algoritma.

Etika Publik dan Kewajiban Media

Kewajiban etis media publik seperti Kompasiana bukan sekadar menyebarkan informasi, tetapi menjadi penopang demokrasi opini. 

Media harus memastikan keberagaman suara, menjaga integritas wacana publik, dan memberikan ruang bagi kritik yang sahih. 

Tanpa komitmen etis, kebebasan menjadi semu: ilusi partisipasi yang aman bagi institusi tetapi membatasi keberanian intelektual.

Kompasiana menghadapi dilema antara melindungi reputasi institusi plus keamanan bisnis, dan memberi ruang bagi kritik berani. Tulisan yang menantang pejabat atau kebijakan publik sering dianggap berisiko. 

Prioritas yang salah pun muncul: keamanan institusi di atas kepentingan publik, sehingga warga belajar menulis dalam zona aman.

Aspek algoritmik dan moderasi digital menambah kompleksitas etika. Algoritma tidak mempertimbangkan moral; tapi hanya mengikuti logika numerik. Ketika dipadukan dengan pedoman konservatif, tulisannya kurang reflektif. Etika publik tereduksi menjadi kepatuhan terhadap aturan platform, bukan tanggung jawab moral kepada masyarakat.

Dari perspektif etika jurnalistik, Kompasiana seharusnya menegakkan keberanian dan transparansi. 

Memberi ruang bagi kritik berani dan perbedaan tafsir adalah bagian dari kontrak moral dengan masyarakat. Redaksi/admin harus menanggung risiko reputasi dan keamanan bisnis untuk menjaga integritas publik.

Akhirnya, etika publik menuntut keseimbangan: reputasi institusi dan kepentingan publik harus berjalan seiring. Kompasiana harus menempatkan integritas wacana publik di atas ketakutan internal. 

Tanpa ini, platform ini kehilangan legitimasi moral dan menjadi panggung steril, bukan laboratorium kritik yang hidup.

Mengembalikan Ojong ke Kompasiana

Sejarah Kompasiana tak bisa dilepaskan dari visi PK Ojong: menjaga ruang bagi suara yang berani, kritis, dan reflektif. Platform modern sering gagal mempertahankan semangat ini karena tekanan institusional, algoritma, serta fobia reputasi dan keamanan bisnis. 

Untuk benar-benar menghormati warisan Ojong, Kompasiana harus menegakkan keberanian intelektual sebagai prinsip dasar.

Kebebasan berekspresi tidak boleh steril. Tulisan yang menantang arus utama atau mengkritik kebijakan publik harus diterima sebagai bagian dari kontrak moral platform dengan masyarakat. 

Mengucilkan tulisan-tulisan semacam itu sama artinya membungkam keberanian Ojong yang menjadi jantung "asli" Kompasiana.

Kompasiana juga harus menghadapi paradoks digital: algoritma yang menilai kontroversi atau engagement tidak memiliki etika, sehingga tanggung jawab menjaga integritas wacana sepenuhnya ada pada redaksi/admin.

Keberanian etis redaksi/admin penting agar perbedaan tafsir tetap hidup dan tulisan kritis mendapat ruang yang adil.

Kompasiana perlu membangun budaya yang mendorong refleksi kritis. Warga penulis harus merasa aman secara moral dan legal, bukan sekadar aman secara algoritmik. 

Dengan begitu, platform ini dapat menjadi laboratorium pemikiran yang autentik, di mana keberanian intelektual dan etika publik berjalan seiring.

Mengembalikan Ojong ke Kompasiana bukan nostalgia, tapi tuntutan moral agar platform ini tetap relevan sebagai ruang refleksi sosial dan demokrasi digital. 

Tanpa keberanian yang nyata, Kompasiana hanya menjadi panggung steril yang indah di permukaan tapi kehilangan roh intelektualnya. 

Dan, sejarah akan mencatat: Apakah Kompasiana dibredel oleh negara, ataukah oleh bayang-bayang ketakutannya sendiri lewat self-censorship?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun