Tulisan yang menantang status quo berisiko kehilangan visibilitas. Penulis kemudian cenderung berkompromi: mengurangi ketajaman argumen, menyederhanakan ide, atau memilih topik aman.Â
Zona yang seharusnya menjadi laboratorium intelektual ini berubah menjadi area steril, menyajikan opini yang aman dan netral.
Budaya ini memengaruhi penulis: kreativitas reflektif dikerdilkan, keberanian menulis dibatasi oleh pedoman konservatif yang begitu pun tidak transparan.Â
Laboratorium kritik yang berani hilang, dan fungsi pendidikan publik Kompasiana berkurang menjadi panggung yang "aman," bukan ruang eksperimen ide.
Hilangnya ruang "pinggir jurang" mengurangi keberagaman opini. Demokrasi digital yang sehat menuntut pertentangan ide konstruktif, bukan persetujuan mayoritas. Ketika opini yang berani dikerdilkan, platform ini kehilangan fungsinya sebagai ruang kritik sejati.
Mengembalikan ruang "pinggir jurang" berarti memberi ruang bagi warga untuk menulis tanpa takut dikucilkan. Hanya dengan itu, Kompasiana dapat kembali menjadi laboratorium refleksi yang menumbuhkan keberanian intelektual.
Otoritas Redaksi/Admin vs Otentisitas Warga
Konflik mendasar di Kompasiana adalah ketegangan antara otoritas redaksi/admin dan otentisitas warga. Nama besar Kompas kini sepertinya begitu menuntut reputasi dan keamanan bisnis untuk dijaga ketat, sementara warga menuntut kebebasan mengekspresikan ide kritis. Dua kutub ini sulit berdamai tanpa prinsip etis yang jelas.
Ketika redaksi menekankan reputasi dan keamanan bisnisnya sendiri, kontrol meningkat: penghapusan, pembatasan visibilitas, atau mungkin notifikasi pelanggaran. Tulisan yang otentik sering menjadi korban, sementara opini ringan terus dipromosikan.
Fenomena ini menciptakan hierarki nilai konten: keamanan institusi lebih penting daripada keberanian berpikir. Kreativitas kritis warga tereduksi, dan zona aman mendominasi, membatasi eksperimen intelektual.Â
Platform yang lahir dari semangat kebebasan kini secara terselubung mengekang kebebasan itu sendiri.