Kebebasan berekspresi tidak boleh steril. Tulisan yang menantang arus utama atau mengkritik kebijakan publik harus diterima sebagai bagian dari kontrak moral platform dengan masyarakat.Â
Mengucilkan tulisan-tulisan semacam itu sama artinya membungkam keberanian Ojong yang menjadi jantung "asli" Kompasiana.
Kompasiana juga harus menghadapi paradoks digital: algoritma yang menilai kontroversi atau engagement tidak memiliki etika, sehingga tanggung jawab menjaga integritas wacana sepenuhnya ada pada redaksi/admin.
Keberanian etis redaksi/admin penting agar perbedaan tafsir tetap hidup dan tulisan kritis mendapat ruang yang adil.
Kompasiana perlu membangun budaya yang mendorong refleksi kritis. Warga penulis harus merasa aman secara moral dan legal, bukan sekadar aman secara algoritmik.Â
Dengan begitu, platform ini dapat menjadi laboratorium pemikiran yang autentik, di mana keberanian intelektual dan etika publik berjalan seiring.
Mengembalikan Ojong ke Kompasiana bukan nostalgia, tapi tuntutan moral agar platform ini tetap relevan sebagai ruang refleksi sosial dan demokrasi digital.Â
Tanpa keberanian yang nyata, Kompasiana hanya menjadi panggung steril yang indah di permukaan tapi kehilangan roh intelektualnya.Â
Dan, sejarah akan mencatat: Apakah Kompasiana dibredel oleh negara, ataukah oleh bayang-bayang ketakutannya sendiri lewat self-censorship?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI