Tanpa komitmen etis, kebebasan menjadi semu: ilusi partisipasi yang aman bagi institusi tetapi membatasi keberanian intelektual.
Kompasiana menghadapi dilema antara melindungi reputasi institusi plus keamanan bisnis, dan memberi ruang bagi kritik berani. Tulisan yang menantang pejabat atau kebijakan publik sering dianggap berisiko.Â
Prioritas yang salah pun muncul: keamanan institusi di atas kepentingan publik, sehingga warga belajar menulis dalam zona aman.
Aspek algoritmik dan moderasi digital menambah kompleksitas etika. Algoritma tidak mempertimbangkan moral; tapi hanya mengikuti logika numerik. Ketika dipadukan dengan pedoman konservatif, tulisannya kurang reflektif. Etika publik tereduksi menjadi kepatuhan terhadap aturan platform, bukan tanggung jawab moral kepada masyarakat.
Dari perspektif etika jurnalistik, Kompasiana seharusnya menegakkan keberanian dan transparansi.Â
Memberi ruang bagi kritik berani dan perbedaan tafsir adalah bagian dari kontrak moral dengan masyarakat. Redaksi/admin harus menanggung risiko reputasi dan keamanan bisnis untuk menjaga integritas publik.
Akhirnya, etika publik menuntut keseimbangan: reputasi institusi dan kepentingan publik harus berjalan seiring. Kompasiana harus menempatkan integritas wacana publik di atas ketakutan internal.Â
Tanpa ini, platform ini kehilangan legitimasi moral dan menjadi panggung steril, bukan laboratorium kritik yang hidup.
Mengembalikan Ojong ke Kompasiana
Sejarah Kompasiana tak bisa dilepaskan dari visi PK Ojong: menjaga ruang bagi suara yang berani, kritis, dan reflektif. Platform modern sering gagal mempertahankan semangat ini karena tekanan institusional, algoritma, serta fobia reputasi dan keamanan bisnis.Â
Untuk benar-benar menghormati warisan Ojong, Kompasiana harus menegakkan keberanian intelektual sebagai prinsip dasar.