Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tak Naikkan Cukai Rokok, Purbaya Bongkar Pola Kebijakan Rezim Lama

2 Oktober 2025   12:50 Diperbarui: 2 Oktober 2025   21:26 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

WHO secara resmi menyatakan bahwa tembakau membunuh lebih dari 8 juta orang setiap tahun di dunia, dengan lebih dari 7 juta dari penggunaan langsung dan sekitar 1,3 juta dari paparan asap rokok orang lain. Tapi, data ini tetap harus dibaca secara kritis agar tidak jatuh pada simplifikasi.

Masalah muncul ketika korelasi statistik ini dipelintir menjadi kausalitas absolut. Padahal, pada kenyataannya, tidak semua perokok jatuh sakit, dan tidak semua penderita penyakit paru-paru adalah perokok. 

Narasi tunggal dari klaim "rokok membunuhmu" jelas menyederhanakan kompleksitas realitas kesehatan. Apalagi, konteks risiko sering kali dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak kalah signifikan.

Lebih jauh, banyak riset ilmiah yang dibiayai oleh lembaga internasional maupun kelompok anti-rokok membawa bias tertentu. Pendanaan penelitian sering kali diarahkan untuk memperkuat agenda regulasi, bukan murni mengeksplorasi kebenaran ilmiah. 

Misalnya, penelitian yang hanya fokus pada bahaya rokok tanpa pernah menimbang faktor risiko lain seperti polusi udara, pola makan, stres, atau faktor genetik. Padahal, semua faktor itu juga signifikan dalam menentukan kesehatan seseorang.

Invaliditas klaim tersebut makin terlihat ketika masyarakat perokok tidak menunjukkan pola kerusakan kesehatan yang linier. Ada komunitas perokok tradisional di beberapa daerah di Indonesia yang tetap sehat hingga usia lanjut. 

Fenomena ini jarang dieksplorasi dalam wacana medis arus utama karena dianggap mengganggu narasi besar yang sudah dibangun. Inilah yang memperlihatkan bagaimana sains bisa dipilih-pilih sesuai kebutuhan politik dan ekonomi.

Di sisi lain, masyarakat dibombardir dengan slogan-slogan kesehatan yang simplistis: "Rokok membunuhmu." Slogan ini lebih menyerupai propaganda moral ketimbang edukasi medis. 

Padahal, sains sejati seharusnya tidak bekerja dengan ancaman simplistik, melainkan dengan data yang komprehensif dan keterbukaan terhadap anomali. Ketika anomali diabaikan, sains berubah menjadi dogma.

Dengan demikian, klaim bahwa merokok merugikan kesehatan tidak bisa diterima begitu saja sebagai kebenaran mutlak. Sebaliknya, harus diuji ulang dengan sikap kritis, dengan memperhatikan seluruh variabel yang memengaruhi kesehatan masyarakat. Tanpa itu, klaim tersebut hanya menjadi alat kekuasaan yang dibungkus jubah ilmiah.

Produksi Pengetahuan dan Bias Kepentingan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun