Keempat, di level global, Sumitronomics harus membangun koalisi alternatif. Aliansi South-South, BRICS, atau ASEAN bisa menjadi jalan keluar dari dominasi lembaga neoliberal Barat. Namun, koalisi ini tidak boleh hanya mengganti ketergantungan lama dengan ketergantungan baru. Menjadi antitesis substantif berarti keberanian untuk membangun jalan mandiri dalam kerja sama internasional.
Dengan strategi ini, Sumitronomics bisa benar-benar membedakan dirinya dari neoliberalisme. Bukan hanya narasi politik, tetapi sebuah model pembangunan yang berpihak pada rakyat dan berakar pada kedaulatan bangsa. Tanpa langkah untuk menjadi antitesis substantif, Sumitronomics akan selalu rapuh di hadapan neoliberalisme.
Berdaulat atau Kembali Jatuh dalam Pelukan Neoliberalisme
Sumitronomics hadir sebagai janji untuk mengembalikan kedaulatan ekonomi Indonesia. Narasinya jelas: menolak dominasi pasar, menegakkan peran negara, dan membangun kemandirian pangan, energi, serta industri.Â
Namun, di balik narasi itu, tantangan besar menanti: dominasi oligarki, birokrasi rapuh, keterbatasan fiskal, hingga tekanan global yang neoliberal.
Ketangguhan Sumitronomics bergantung pada keberanian politik untuk menjadi antitesis substantif.Â
Jika berhasil memperkuat kepemilikan publik, mendistribusikan manfaat secara adil, membenahi birokrasi, dan membangun koalisi global alternatif, Sumitronomics bisa menjadi jalan progresif yang benar-benar berdaulat. Melampaui neoliberalisme, bukan sekadar menyamar di balik topeng nasionalisme.
Tak bisa dipungkiri bahwa risiko jatuh tetap besar. Jika hanya dijalankan sebagai proyek oligarki dengan retorika kedaulatan, Sumitronomics akan runtuh sebagai neoliberalisme dengan kedok baru.Â
Dalam skenario itu, rakyat lagi-lagi tetap menjadi penonton, sumber daya tetap dieksploitasi, dan ketergantungan global tetap berlangsung. Kedaulatan hanya menjadi slogan, bukan kenyataan.
Dengan demikian, Sumitronomics adalah proyek uji nyali politik-ekonomi Indonesia di abad ke-21. Apakah kita akan sungguh berdaulat, atau lagi-lagi jatuh dalam pelukan neoliberalisme?Â
Jawaban atas pertanyaan tersebut akan ditentukan oleh kebijakan konkret, distribusi manfaat, dan keberanian untuk menempatkan rakyat sebagai pusat pembangunan.***