Korporasi domestik yang dekat dengan kekuasaan memperoleh keuntungan terbesar, sementara petani, nelayan, atau buruh hanya menerima limpahan kecil.Â
Tak pelak, Jokowinomics berfungsi sebagai mekanisme distribusi keuntungan kepada elite, bukan sebagai alat untuk mewujudkan keadilan ekonomi yang lebih merata.
Keterlibatan oligarki dalam berbagai megaproyek menjadikan Jokowinomics sebagai instrumen politik sekaligus ekonomi. Oligarki mendapatkan konsesi besar, mulai dari tambang hingga energi, sementara negara memperoleh legitimasi politik melalui narasi pembangunan.Â
Hubungan simbiotik ini memperlihatkan bahwa neoliberalisme dapat beradaptasi dengan wajah nasionalisme semu, sehingga tetap mempertahankan logika akumulasi kapital yang timpang.
Dari perspektif rakyat, Jokowinomics memang menghadirkan pembangunan fisik yang kasat mata (jalan tol, bandara, pelabuhan) tetapi belum banyak mengubah struktur ketimpangan ekonomi.Â
Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan tetap rapuh, rentan terhadap guncangan global, dan tidak menyelesaikan problem mendasar seperti ketergantungan pangan, impor energi, maupun kesenjangan regional.
Pelajaran paling penting bagi Sumitronomics adalah bahwa tanpa keberanian mendobrak dominasi oligarki, kedaulatan hanya akan menjadi jargon dan alat politik.Â
Jika hanya mengulang pola Jokowinomics, yakni menggunakan retorika nasionalisme untuk menutupi logika neoliberal, Sumitronomics akan gagal menjadi antitesis substantif. Yang terjadi hanyalah reproduksi neoliberalisme dalam baju baru, dengan elit domestik sebagai aktor utama penerima manfaat.
Oleh karena itu, inilah salah satu uji nyalinya: Sumitronomics harus berani melampaui Jokowinomics. Harus menjadikan rakyat sebagai subjek utama pembangunan, bukan hanya penonton dari pertunjukan oligarki.Â
Tanpa langkah itu, sejarah akan berulang: neoliberalisme tetap dominan, hanya berganti wajah, sementara kedaulatan ekonomi tinggal retorika belaka.
Tantangan Struktural dalam Negeri