Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Uji Nyali Sumitronomics: Berdaulat atau Jatuh dalam Pelukan Neoliberalisme

24 September 2025   15:14 Diperbarui: 24 September 2025   15:27 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumitronomics berdiri di atas pilar nasionalisme ekonomi. Negara ditempatkan bukan sekadar sebagai "wasit," tapi sebagai aktor utama yang mengarahkan jalannya pembangunan. 

Agenda hilirisasi sumber daya alam, penguatan industri pertahanan dalam negeri, serta program swasembada pangan dan energi menjadi simbol dari tekad mengembalikan peran negara. Prinsip ini berbeda secara fundamental dengan neoliberalisme yang menyingkirkan negara ke pinggiran.

Kemandirian menjadi kata kunci. Dalam logika Sumitronomics, produksi domestik harus diprioritaskan, meskipun secara ekonomi mungkin tidak seefisien impor. 

Hal ini selaras dengan pandangan bahwa kedaulatan ekonomi bukan hanya soal angka-angka pertumbuhan, tetapi juga soal pertahanan bangsa di tengah ketegangan geopolitik global. 

Berbeda dengan neoliberalisme yang mengagungkan efisiensi biaya, Sumitronomics menempatkan keamanan strategis sebagai pertimbangan utama.

Meski begitu, realitas ekonomi Indonesia tidak memungkinkan kemandirian absolut. Agenda hilirisasi nikel, misalnya, tetap memerlukan pasar ekspor, teknologi asing, dan investasi luar negeri. 

Dengan kenyataan itu, pintu kompromi dengan neoliberalisme masih terbuka lebar. Narasi kemandirian berpotensi goyah ketika berhadapan dengan kebutuhan modal dan akses pasar global.

Sumitronomics juga ditopang oleh basis politik populisme nasionalis. Ia memperoleh legitimasi dengan menggaungkan kedaulatan dan martabat bangsa. 

Namun, populisme ini menghadapi risiko instrumentalitas: jargon nasionalisme bisa menjadi alat untuk mengonsolidasikan kekuasaan elite, bukan untuk memperluas kesejahteraan rakyat. Dalam kondisi itu, kedaulatan bisa hanya berhenti sebagai narasi, tanpa transformasi substantif.

Ambiguitas ini membuat Sumitronomics berada dalam posisi genting. Ia ingin berbeda dari neoliberalisme, tetapi sangat bergantung pada faktor-faktor yang mengakar dalam sistem neoliberal. 

Karakter dasarnya memberi arah, tetapi juga membuka celah bagi kooptasi. Dari sini muncul pertanyaan lanjutan: apakah Sumitronomics mampu menjaga otentisitasnya, atau hanya menjadi variasi lain dari neoliberalisme?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun