Sumitronomics berdiri di atas pilar nasionalisme ekonomi. Negara ditempatkan bukan sekadar sebagai "wasit," tapi sebagai aktor utama yang mengarahkan jalannya pembangunan.Â
Agenda hilirisasi sumber daya alam, penguatan industri pertahanan dalam negeri, serta program swasembada pangan dan energi menjadi simbol dari tekad mengembalikan peran negara. Prinsip ini berbeda secara fundamental dengan neoliberalisme yang menyingkirkan negara ke pinggiran.
Kemandirian menjadi kata kunci. Dalam logika Sumitronomics, produksi domestik harus diprioritaskan, meskipun secara ekonomi mungkin tidak seefisien impor.Â
Hal ini selaras dengan pandangan bahwa kedaulatan ekonomi bukan hanya soal angka-angka pertumbuhan, tetapi juga soal pertahanan bangsa di tengah ketegangan geopolitik global.Â
Berbeda dengan neoliberalisme yang mengagungkan efisiensi biaya, Sumitronomics menempatkan keamanan strategis sebagai pertimbangan utama.
Meski begitu, realitas ekonomi Indonesia tidak memungkinkan kemandirian absolut. Agenda hilirisasi nikel, misalnya, tetap memerlukan pasar ekspor, teknologi asing, dan investasi luar negeri.Â
Dengan kenyataan itu, pintu kompromi dengan neoliberalisme masih terbuka lebar. Narasi kemandirian berpotensi goyah ketika berhadapan dengan kebutuhan modal dan akses pasar global.
Sumitronomics juga ditopang oleh basis politik populisme nasionalis. Ia memperoleh legitimasi dengan menggaungkan kedaulatan dan martabat bangsa.Â
Namun, populisme ini menghadapi risiko instrumentalitas: jargon nasionalisme bisa menjadi alat untuk mengonsolidasikan kekuasaan elite, bukan untuk memperluas kesejahteraan rakyat. Dalam kondisi itu, kedaulatan bisa hanya berhenti sebagai narasi, tanpa transformasi substantif.
Ambiguitas ini membuat Sumitronomics berada dalam posisi genting. Ia ingin berbeda dari neoliberalisme, tetapi sangat bergantung pada faktor-faktor yang mengakar dalam sistem neoliberal.Â
Karakter dasarnya memberi arah, tetapi juga membuka celah bagi kooptasi. Dari sini muncul pertanyaan lanjutan: apakah Sumitronomics mampu menjaga otentisitasnya, atau hanya menjadi variasi lain dari neoliberalisme?