Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

"Left No One Behind," Topeng Neoliberalisme dalam Agenda Global SDGs

21 September 2025   16:41 Diperbarui: 21 September 2025   16:56 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber://idn.freepik.com/foto-gratis/)

Antara Janji dan Realitas LNOB

Prinsip Left No One Behind (LNOB) lahir sebagai janji yang kelihatannya luhur dalam kerangka Sustainable Development Goals (SDGs), dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2015. 

LNOB digadang-gadang sebagai koreksi moral atas kegagalan Millenium Development Goals (MDGs) yang dianggap terlalu teknokratis dan tidak cukup menyoroti ketimpangan. 

Dengan LNOB, pembangunan global seakan menemukan kompas moral baru: memastikan semua orang, terutama kelompok paling rentan, ikut serta dalam arus pembangunan.

Namun, sejak awal muncul pertanyaan mendasar: apakah LNOB benar-benar komitmen universal, ataukah sekadar slogan untuk membungkus agenda lain? 

Banyak akademisi dan aktivis pembangunan menyebut LNOB sebagai "janji yang mustahil" sekaligus "bahasa halus neoliberalisme." 

Klaim itu tidak muncul begitu saja, melainkan karena praktik pembangunan global menunjukkan pola yang konsisten: di balik wacana inklusi, neoliberalisme justru beroperasi dengan lebih halus.

LNOB menjanjikan tidak ada yang ditinggalkan, tetapi kenyataan memperlihatkan bahwa yang disebut "inklusi" sering kali berarti memasukkan kelompok marjinal ke dalam sistem pasar global, bukan memberi ruang otonomi atau alternatif hidup. 

Dengan demikian, LNOB bukanlah antitesis neoliberalisme, melainkan instrumen baru untuk melanjutkan logika pasar. 

Jika neoliberalisme dituding menyingkirkan, LNOB menawarkan wajah ramah yang mengatakan: "tidak ada yang ditinggalkan," sembari tetap melanggengkan struktur eksklusi yang sama.

Persoalan ini penting dibongkar karena LNOB kini menjadi kata kunci dalam hampir semua kebijakan pembangunan, baik di tingkat internasional maupun nasional. 

Pemerintah, lembaga donor, hingga korporasi global berlomba mengklaim program mereka "sejalan dengan prinsip LNOB." 

Ironisnya, semakin sering LNOB diucapkan, semakin kabur maknanya. Ia menjadi jargon yang bisa dipakai semua pihak, bahkan oleh mereka yang justru memperparah ketimpangan.

Dengan menelusuri akar, praktik, dan implikasi LNOB, kita dapat melihat bagaimana ia berfungsi lebih sebagai topeng neoliberalisme ketimbang instrumen emansipasi. 

Tulisan ini berusaha membongkar topeng tersebut secara sistematis: mulai dari asal-usul SDGs, retorika inklusi, hingga praktik yang memperlihatkan wajah ganda LNOB.

SDGs sebagai Bahasa Global Pembangunan

SDGs diposisikan sebagai agenda pembangunan global yang inklusif dan universal. Dengan 17 tujuan dan 169 target, SDGs ingin memberi kerangka moral, politik, sekaligus teknis bagi pembangunan dunia hingga 2030. 

Di sinilah LNOB hadir sebagai prinsip utama: semua target harus dicapai dengan memastikan kelompok rentan tidak tertinggal. Secara retoris, ia menawarkan sesuatu yang lebih progresif dibanding MDGs.

Namun, universalitas SDGs sendiri patut dicurigai. Dengan mengusung indikator global, SDGs memaksa semua negara untuk mengikuti satu bahasa pembangunan yang sama. Padahal, kondisi, kebutuhan, dan aspirasi masyarakat sangat berbeda-beda. 

Dengan demikian, "bahasa global" yang tampak netral justru berfungsi sebagai standar hegemonik yang mengabaikan keragaman lokal. LNOB dalam kerangka ini bukan berarti "mengakui perbedaan," melainkan "menyamakan semua orang" dalam logika pembangunan global.

Bahasa global pembangunan ini juga memberi ruang legitimasi bagi lembaga keuangan internasional, negara donor, dan korporasi transnasional untuk masuk ke dalam kebijakan domestik negara-negara berkembang. 

Atas nama LNOB, intervensi kebijakan mendapatkan pembenaran: dari pengelolaan sumber daya, restrukturisasi birokrasi, hingga digitalisasi layanan publik. LNOB memberi dekorasi normatif pada intervensi yang sebenarnya memperluas logika neoliberalisme.

Penting pula dicatat bahwa indikator SDGs, yang sering dijadikan alat ukur keberhasilan, lebih menekankan pada aspek kuantitatif: angka kemiskinan, angka partisipasi sekolah, angka akses internet. 

Ukuran kuantitatif itu justru membuat pembangunan direduksi menjadi sekadar statistik. LNOB dalam konteks ini berfungsi sebagai hiasan normatif: seolah-olah statistik yang membaik berarti tidak ada yang tertinggal, padahal kualitas hidup, otonomi, dan keadilan substantif bisa tetap terabaikan.

Tak pelak, sejak dari kerangka SDGs, LNOB sudah terjebak dalam paradoks: menawarkan komitmen moral universal, tetapi menggunakan bahasa teknokratik global yang cenderung menghapus konteks lokal. Inilah fondasi pertama dari topeng neoliberalisme.

Retorika Inklusi dan Soft Power Negara Donor

LNOB juga berfungsi sebagai alat soft power bagi negara donor. Dengan menjanjikan "tidak ada yang tertinggal," negara-negara maju dapat membingkai diri mereka sebagai pemimpin moral pembangunan global. 

Namun, di balik itu terdapat logika politik luar negeri: LNOB dipakai untuk memperkuat legitimasi intervensi dan membuka ruang bagi diplomasi pembangunan.

Negara-negara berkembang, khususnya di Asia dan Afrika, seringkali menerima bantuan dengan syarat tertentu. LNOB dipakai sebagai justifikasi: seolah syarat tersebut adalah upaya memastikan kelompok miskin ikut merasakan pembangunan. 

Padahal, syarat itu bisa berupa deregulasi pasar, privatisasi layanan, atau pengurangan subsidi. Dengan kata lain, LNOB menjadi pintu masuk neoliberalisme dengan lebih lembut.

Retorika inklusi ini membuat kritik terhadap donor menjadi sulit. Bagaimana mungkin menolak program yang katanya ditujukan agar "tidak ada yang tertinggal"? 

Penolakan akan mudah dicap sebagai anti-progresif atau menentang nilai kemanusiaan. Di sinilah kekuatan retorika LNOB: bekerja sebagai moral blackmail yang membuat pihak penerima bantuan kehilangan daya kritis.

Selain itu, negara donor memanfaatkan LNOB untuk memperkuat citra di hadapan publik global. Setiap proyek bantuan, sekecil apapun, dipromosikan sebagai "komitmen terhadap LNOB." 

Narasi tersebut membantu membentuk reputasi positif, yang kemudian bisa dikapitalisasi dalam hubungan diplomatik maupun ekonomi. LNOB, dengan demikian, berfungsi ganda: moralitas bagi publik, sekaligus instrumen geopolitik.

Di titik ini, terlihat jelas LNOB bukan hanya prinsip normatif, melainkan juga strategi politik. Menjadi perangkat bagi neoliberalisme global untuk masuk ke ranah pembangunan dengan wajah ramah.

Integrasi ke Pasar: Inklusi yang Menyingkirkan

Salah satu kritik paling tajam terhadap LNOB adalah bahwa "inklusi" yang dijanjikan sebenarnya adalah integrasi ke dalam pasar. Dengan dalih memberi akses, program LNOB sering kali memaksa kelompok rentan untuk masuk ke dalam sistem kapitalisme global. 

Kelompok rentan memang tidak lagi "ditinggalkan," tetapi posisi mereka tetap subordinat: sebagai konsumen, tenaga kerja murah, atau penyedia data.

Contohnya terlihat dalam program inklusi digital. Banyak negara berkembang didorong untuk memperluas akses internet agar masyarakat miskin "tidak tertinggal." Namun, akses ini sering kali diarahkan untuk menggunakan platform teknologi global. 

Alih-alih berdaulat secara digital, masyarakat miskin justru menjadi ladang data baru bagi perusahaan raksasa. LNOB dalam kasus ini berfungsi sebagai topeng: seolah memperluas akses, padahal memperluas pasar.

Hal serupa terjadi dalam sektor keuangan. Konsep "inklusi keuangan" yang kerap dikaitkan dengan LNOB menjanjikan bahwa masyarakat miskin bisa mengakses layanan perbankan. 

Namun, yang terjadi sering kali adalah mendorong mereka masuk ke sistem kredit mikro dengan bunga tertentu, yang pada akhirnya bisa menjerat mereka dalam utang. Inklusi di sini berarti membuka pasar baru bagi lembaga keuangan, bukan membebaskan dari kemiskinan struktural.

Kita juga melihat pola ini dalam pertanian. Program pembangunan yang katanya memastikan petani kecil "tidak tertinggal" sering kali mendorong mereka untuk masuk ke rantai pasok global. Alih-alih memperkuat kedaulatan pangan, hal ini justru membuat petani bergantung pada input dari korporasi dan harga pasar internasional.

Dengan demikian, LNOB tidak berarti menghapus marginalisasi, melainkan mengubah bentuknya: dari eksklusi langsung menjadi inklusi subordinat dalam pasar. Inilah inti neoliberalisme: semua orang boleh masuk, tetapi hanya sebagai roda kecil dalam mesin kapitalisme global.

Data, Pengawasan, dan Biopolitik LNOB

Salah satu pilar LNOB adalah kewajiban menghasilkan data yang terdisaggregasi: berdasarkan gender, usia, lokasi, disabilitas, dan sebagainya. Tujuannya tampak mulia: memastikan bahwa kelompok rentan benar-benar terlihat dan tidak tertinggal. Namun, di balik itu ada dimensi biopolitik yang penting untuk dikritisi.

Dengan dalih LNOB, negara-negara berkembang didorong untuk mengumpulkan data yang sangat detail tentang warga. Data ini memang berguna untuk kebijakan, tetapi juga membuka ruang pengawasan yang sangat besar. 

Warga yang sebelumnya "tidak terlihat" kini justru terlalu terlihat: setiap aspek hidup mereka dicatat, dilacak, dan diadministrasikan. LNOB, dalam hal ini, menjadi pintu masuk bagi perluasan pengendalian biopolitik.

Lebih jauh, data tersebut tidak berhenti di tangan negara. Sering kali, lembaga donor, konsultan global, bahkan korporasi teknologi ikut terlibat dalam pengelolaan data. 

Dengan demikian, LNOB menciptakan arus data global yang rentan dipakai untuk kepentingan komersial atau politik. Warga miskin yang katanya dilindungi justru menjadi komoditas data baru.

Prinsip LNOB yang berbicara tentang inklusi akhirnya bermakna lain: bukan lagi sekadar "tidak ada yang tertinggal," tetapi "tidak ada yang luput dari pengawasan." Retorika LNOB memberi legitimasi bagi sistem kontrol global yang semakin rapat.

Kita harus bertanya: Apakah benar kelompok rentan diuntungkan dengan menjadi sepenuhnya terlihat? Atau justru semakin rentan karena hidupnya bisa diatur dari jauh melalui data? 

Di sinilah LNOB sekali lagi terbukti menjadi topeng neoliberalisme: wajah ramah inklusi, tetapi bekerja sebagai mesin pengawasan dan kontrol.

Homogenisasi Pembangunan dan Marginalisasi Lokal

LNOB mengklaim menghormati semua manusia, tetapi dalam praktiknya mendorong homogenisasi pembangunan. Komunitas adat, masyarakat tradisional, atau kelompok subsisten sering kali dianggap "tertinggal" hanya karena tidak mengikuti logika ekonomi modern.

Program pembangunan yang berlabel LNOB biasanya menawarkan "integrasi" masyarakat adat ke dalam sistem pendidikan formal, pasar modern, atau layanan digital. 

Namun, langkah ini sering berarti memaksa mereka meninggalkan cara hidup yang sudah lama terbukti berkelanjutan. Alih-alih menghormati keberagaman, LNOB berfungsi sebagai standar global yang menyingkirkan pluralitas.

Contoh paling jelas bisa dilihat pada masyarakat adat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Atas nama pembangunan inklusif, hutan tempat mereka hidup bisa dibuka untuk investasi dengan iming-iming pekerjaan dan akses modern. 

Padahal, kehilangan tanah dan budaya berarti kehilangan inti kehidupan. LNOB di sini hanyalah topeng untuk menjustifikasi penetrasi pasar.

Paradoks ini memperlihatkan bahwa LNOB tidak pernah netral. Bukan sekadar slogan universal, melainkan perangkat untuk mengukur dan mengatur dunia sesuai standar neoliberalisme. Dengan kata lain, ia adalah mesin penyeragaman yang menolak perbedaan.

Wajah Baru Neoliberalisme dalam LNOB

Dari berbagai uraian di atas, terlihat bahwa LNOB sebenarnya adalah wajah baru dari neoliberalisme. Jika neoliberalisme klasik cenderung kasar (dengan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi), maka neoliberalisme era SDGs tampil lembut, dengan retorika inklusi dan keadilan.

LNOB memberi neoliberalisme bahasa moral baru. Ia tidak lagi tampak sebagai sistem yang menyingkirkan, melainkan proyek yang merangkul. Namun, substansi tidak berubah: tujuan akhirnya tetap ekspansi pasar, kontrol data, dan homogenisasi pembangunan. Yang berbeda hanyalah bungkusnya.

Bagi neoliberalisme, LNOB adalah strategi cerdas. Ia meredam kritik, karena siapa berani menolak prinsip "tidak ada yang tertinggal"? Ia juga memperluas legitimasi, karena proyek pasar kini bisa dikemas sebagai proyek moral. Dengan demikian, neoliberalisme justru semakin kokoh, bukan semakin memudar.

Kekuatan topeng LNOB terletak pada ambivalensinya. Ia bisa dipakai oleh semua pihak, dari negara donor hingga korporasi, dari pemerintah hingga NGO. Semua bisa mengklaim sedang menjalankan LNOB, tanpa harus benar-benar mengubah struktur ketidakadilan.

Di sinilah LNOB mencapai puncak fungsi hegemoniknya: ia menyatukan berbagai aktor di bawah slogan yang sama, sembari memastikan logika neoliberalisme tetap mendominasi.

Membongkar Topeng, Mencari Jalan Lain

Dari seluruh uraian, jelas bahwa LNOB adalah topeng neoliberalisme. Ia menjanjikan inklusi, tetapi yang ditawarkan adalah integrasi subordinat ke dalam pasar. 

Menjanjikan perlindungan, tetapi yang hadir adalah pengawasan. Menjanjikan penghormatan terhadap semua, tetapi yang dijalankan adalah homogenisasi.

LNOB berfungsi sebagai kosmetika neoliberalisme global. Memberi wajah ramah pada sistem yang tetap eksploitatif. Dengan LNOB, neoliberalisme tidak lagi tampak menyingkirkan, melainkan seolah-olah menyelamatkan. 

Namun, itu hanyalah ilusi. Struktur ketidakadilan tetap dipertahankan, bahkan diperluas dengan legitimasi moral baru.

Tugas kita bukan menolak inklusi, tetapi membongkar klaim inklusi palsu yang dipromosikan lewat LNOB. Kita perlu bertanya: inklusi ke dalam apa? Dengan syarat siapa? Untuk kepentingan siapa? 

Jika jawabannya selalu mengarah pada pasar, kontrol, dan homogenisasi, maka jelas LNOB hanyalah topeng neoliberalisme.

Sebagai alternatif, kita perlu membayangkan pembangunan yang benar-benar berangkat dari komunitas, yang menghormati keberagaman cara hidup, dan yang menempatkan keadilan substantif di atas logika pasar. Tanpa itu, LNOB akan terus menjadi alat hegemoni global.

Membongkar topeng LNOB bukan berarti menolak cita-cita keadilan global, melainkan justru cara untuk menyelamatkannya. 

Dengan menguak realitas di balik slogan, kita bisa mencari jalan lain: pembangunan yang tidak hanya menjanjikan "tidak ada yang tertinggal," tetapi benar-benar memastikan tidak ada yang dikorbankan demi pasar.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun