Antara Janji dan Realitas LNOB
Prinsip Left No One Behind (LNOB) lahir sebagai janji yang kelihatannya luhur dalam kerangka Sustainable Development Goals (SDGs), dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2015.Â
LNOB digadang-gadang sebagai koreksi moral atas kegagalan Millenium Development Goals (MDGs) yang dianggap terlalu teknokratis dan tidak cukup menyoroti ketimpangan.Â
Dengan LNOB, pembangunan global seakan menemukan kompas moral baru: memastikan semua orang, terutama kelompok paling rentan, ikut serta dalam arus pembangunan.
Namun, sejak awal muncul pertanyaan mendasar: apakah LNOB benar-benar komitmen universal, ataukah sekadar slogan untuk membungkus agenda lain?Â
Banyak akademisi dan aktivis pembangunan menyebut LNOB sebagai "janji yang mustahil" sekaligus "bahasa halus neoliberalisme."Â
Klaim itu tidak muncul begitu saja, melainkan karena praktik pembangunan global menunjukkan pola yang konsisten: di balik wacana inklusi, neoliberalisme justru beroperasi dengan lebih halus.
LNOB menjanjikan tidak ada yang ditinggalkan, tetapi kenyataan memperlihatkan bahwa yang disebut "inklusi" sering kali berarti memasukkan kelompok marjinal ke dalam sistem pasar global, bukan memberi ruang otonomi atau alternatif hidup.Â
Dengan demikian, LNOB bukanlah antitesis neoliberalisme, melainkan instrumen baru untuk melanjutkan logika pasar.Â
Jika neoliberalisme dituding menyingkirkan, LNOB menawarkan wajah ramah yang mengatakan: "tidak ada yang ditinggalkan," sembari tetap melanggengkan struktur eksklusi yang sama.