Ibarat kaset tape, yang kulihat selama ini adalah "side A." Sisi cantik, anggun, pintar dan cekatan. Kini aku melihat "side B." Sulit untuk mendeskripsikannya, tapi bisa dirasakan, dan rasanya itu mendebarkan. Beruntunglah lelaki yang akan menjadi pilihannya kelak.
"Tha, Tha" sebutku sambil membelai rambutnya. Ia kemudian mengangkat wajahnya. Aku meraih sapu tangan dari saku, lalu melap matanya yang sembab. Namun ia kembali merebahkan kepalanya di dadaku.
"Tha, Tha, udah dong, kamu ikhlas ya, kamu harus bisa move on, oke?" bisikku di telinganya.
"Gak mau, gak mau!" katanya sambil menghentakkan kakinya, lalu memeluk tubuhku dengan erat.
"Buset!" Aku kaget setengah mati. Kalau Jenny kolokan kayak begini, aku bisa ngerti. Namun kalau Martha? Waduh aku bingung setengah mati. Soalnya ia belum pernah seperti begini ini!
Tiba-tiba saja aku merasa grogi. Kami terakhir berpelukan itu justru pada saat kami putus, kira-kira dua setengah tahun lalu. Itu sebenarnya pelukan terakhir, tapi entah mengapa ada sesuatu yang terjadi, membuatku berpikir ulang untuk mencobanya sekali lagi.
Pelukan terakhir yang artinya pelukan perpisahan, tapi terasa seperti pelukan pertama ketika berkencan. Aneh, karena aku masih bisa ingat terus rasanya. Aku rasa bukan hanya aku saja yang berpikiran begitu. Namun kami, bukan. Bukan kami, tapi Martha, waktu itu akhirnya memutuskan untuk berpisah saja, walau dengan perasaan mengganjal, "kenapa kami tidak mencobanya sekali lagi?"
Entah sudah berapa lama kami dalam keheningan. Aku tak tahu harus berbuat apa. Martha tidak menangis lagi. Sesekali ia melirikku, dan setiap kali ia melirikku, ia mau nangis lagi sambil menghentak-hentakkan kakinya. Duh Gusti, aku mati gaya! Ingin meluk untuk menenangkannya, tapi "ia bukan mahram. Aku ini laki orang!" Tiba-tiba saja aku ingat Jenny. Bagaimana kalau Jenny melihatku bersama Martha?
Atau Stanley melihatku di sini, ia pasti dengan senang hati akan mengadukanku kepada Jenny. Duh Gusti, aku belum pernah di situasi seperti ini. Aku terbiasa menjadi "jones," jomblo ngenes. Aku gak biasa dipeluk, ditangisi, apalagi diadukan! gimane ini gan?
Martha sepertinya sudah tenang. Ia lalu merapikan rias wajahnya dengan kamera ponselnya. Sesekali ia melirikku, dan setiap kali ia melirikku, ia menunjukkan wajah cemberutnya.
Bangke! Kenapa dulu sewaktu kami masih pacaran ia tidak pernah begini? Kalau dulu begitu ia pasti akan "kuperkosa," kulumat bibirnya lalu kugelitiki sampai minta ampun. Gemes banget lihatnya. Namun aku sadar. "Aku kini sudah jadi laki orang."