Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Renjanaku (16) The Judgement Day

7 Oktober 2025   14:05 Diperbarui: 7 Oktober 2025   14:01 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://asset-2.tribunnews.com/prohaba/foto/bank/images/ilustrasi-jatuh-cinta.jpg

"Hidup ternyata perlu keseimbangan. Bukan cuma pekerjaan saja yang harus digilai, tapi cinta juga harus digilai, agar kita tidak gila beneran!"

Aku dan Jenny menghabiskan waktu bersama selama tiga hari di Singapura. Ini memang benar-benar liburan yang sangat menyenangkan bagi kami berdua.
Dalam setahun aku bisa sampai delapan kali ke Singapura. Namun aku tidak pernah ke mana-mana karena aku terlalu fokus untuk makan kuetiau goreng seafood, hehe.

Jenny mengajakku menggelandang naik bis, MRT dan berjalan kaki melihat spot-spot yang menarik perhatian. Sebenarnya aku tak begitu peduli ke mana Jenny membawaku, as long as aku bisa memeluknya. Hah? Ya, kami jalan berduaan sambil bergandengan tangan. Sesekali aku memeluknya sambil mencium pipinya. Duh mak nyak! Rasanya seperti ingin terbang ke angkasa, lalu menggelitiki awan di atas sana agar mereka bersin untuk membuat hujan turun.

Kalau hujan turun, maka kami akan berteduh. Jenny akan merapatkan tubuhnya padaku agar ia tidak kedinginan. Aku akan memeluknya agar cipratan air hujan tidak mengenai tubuhnya.


Untunglah kami tidak di Bollywood. Kalau iya, maka aku pasti langsung bernyanyi, "Tum pass aye, yun muskuraein...Ab to mera dil, jaage naa sota hai...Kya karu haaye, kuch kuch hota hai."
Sambil malu-malu kucing Jenny kemudian ngumpet di balik pohon jengkol, lalu celingukan menungguku. Aku ternyata malah berada di atas pohon jengkolnya!

Koq enak ya? Kenapa dulu aku tidak pernah begini? Apakah selama ini aku salah pilih pacar? Atau jangan-jangan dulu itu aku tak punya rasa! Alamak!

 

Aku sudah memutuskan tidak akan bekerja lagi di perusahaan tempatku bekerja sekarang.
Kemarin aku sudah bicara dengan Pak Made soal resign. Aku juga sudah membuat surat pengunduran diri, bukan semata-mata karena persoalan Rini saja, tetapi juga karena merasa pekerjaan ini telah membuatku menjadi seperti orang barbar.

Aku selalu berusaha mengejar komisi dari penjualan alat berat. Tidak mengenal waktu, dan hampir tidak pernah berlibur. Pekerjaan gila ini bahkan mampu membuatku melupakan impian liburanku dulu. Liburan dengan Jenny kemudian membuka mataku lebar-lebar. Hidup ternyata perlu keseimbangan. Bukan cuma pekerjaan saja yang harus digilai, tapi cinta juga harus digilai, agar kita tidak gila beneran!

Lebih baik aku jualan serabi saja, seperti Kang Jajang yang menyewa ruko mama di Bandung. Dagangannya selalu ramai, tidak pernah sepi. Kang Jajang kini tajir melintir. Bininya pun tiga.
Ia sebenarnya mampu membeli ruko tersebut, tapi mama tak mau menjualnya. Tiap tahun uang sewa ruko naik, tapi kang Jajang tidak mau pindah. "Hoki serabi" rupanya di ruko mama. Hiks 

Duitku masih ada buat modal. Aku bisa ngontrak tempat dan buka cabang serabi kang Jajang di Jakarta. Kalau ia tidak mau ngasih resep serabinya, kusuruh saja pindah. Aku juga mau happy, jual serabi sambil pacaran. Tidak perlu tiga pacar. Cukup satu saja, dan sekarang aku lagi jatuh cinta.

***

"The Judgement Day" telah tiba, draft surat pengunduran diriku ke Pak Made rupanya tersebar. Hari ini aku dipanggil menghadap Rini. Orang-orang di kantor harap-harap cemas. Setiap orang yang melewati ruangan Rini tak kuasa untuk tidak menatap pintu ruangan kerjanya. Para penjilat pantat berspekulasi, akan kah ada tempat kosong lagi di posisi Sales Manager mengikuti Posisi Finance Manager yang telah mengundurkan diri?

"Silahkan duduk" jawab Rini dengan ketus sambil meletakkan copy surat resignku dengan kasar ke atas meja. Aku segera duduk dengan sikap santai.

"Saya tak suka dengan cara-cara begini. Pertama, bapak tidak melaksanakan tugas yang memang sudah tanggung-jawab bapak. Laporan-laporan yang saya minta tidak diserahkan ke saya, dan juga konduite hasil pekerjaan bapak tiga bulan terakhir sangat mengecewakan, sehingga saya meragukan kapasitas bapak sebagai seorang sales Manager, bapak itu mampu apa tidak?" Suara Rini terkesan membentakku.

 

"Kedua, saya tidak suka diintimidasi dengan surat resign ini. Bapak tidak perlu menekan perusahaan dengan surat resign ini seolah-olah bapak sangat diperlukan di sini. Asal bapak tahu saja, banyak yang lebih qualified ngantri untuk posisi bapak. Bapak tidak tahu diri, bapak pikir perusahaan lebih memilih bapak daripada saya. Asal bapak tahu, saya mewakili kepentingan pemilik saham mayoritas." Suara Rini tetap dengan nada tinggi.

"Ketiga, saya tidak suka masalah-masalah pribadi dimasukkan ke dalam pekerjaan. Tapi okelah, kalau bapak mau bersikap baik, demi masa lalu, kali ini bapak saya maafkan. Untuk sementara bapak saya skors sebagai Sales Manager. Sementara ini, bapak menjadi asisten saya dulu, sampai bapak menunjukkan sikap yang baik"

Waduh, sombong sekali orang ini. Ia mencoba mengintimidasi dan menekanku. Aku menarik nafas panjang dan kemudian berkata dengan lembut, "Ibu, saya benar-benar mengundurkan diri dari perusahaan ini tanpa ada melibatkan urusan-urusan pribadi. Surat pengunduran resmipun sudah saya masukkan kemarin ke HRD." Rini kini terlihat bingung.

"Lagipula karir saya di sini sudah mentok karena perbedaan visi. Saya dituduh menjual produk kompetitor, padahal dari dulu kita sering bekerjasama dengan kompetitor untuk memasok kebutuhan customer. Lagian prinsip perusahaan selama ini kan customer oriented, kita melayani kebutuhan customer. Bukan product oriented, karena saat ini kita belum bisa memaksakan merek produk kita ke customer Bu." Aku menghela nafas sejenak.

"Memang benar, dari seluruh peralatan yang saya jual ke customer, mungkin hanya empat puluh persennya produk kita. Bukan karena saya tricky, melainkan karena produk tersebut tidak tersedia di sini bu." Namun aku tidak cerita ke Rini kalau aku itu sering juga menjual alat berat bekas rekondisi ke customer. Hiks.

"Bu Rini, kebetulan bisnis Keluarga berkembang pesat enam tahun terakhir ini, yang membutuhkan penanganan serius. Papa mulai menua. Sebagai anggota keluarga dan juga pemilik perusahaan, saya juga ikut memikul tanggung jawab kelangsungan hidup perusahaan keluarga ini." Seketika aku melihat wajah Rini yang sudah mulai kehilangan taringnya.

Kini dia ingat, dulu sewaktu kami masih pacaran, aku pernah bicara padanya. Selesai kuliah, aku tidak mau lanjut S2 atau bekerja sama papa. Aku mau bekerja di tempat lain dulu dari posisi bawah untuk mencari pengalaman. Kalau boleh perusahaan dengan reputasi baik, "supaya aku bisa curi ilmu." Setelah itu barulah balik menangani perusahaan keluarga.  

"Bu Rini yang baik, saat ini saya lagi jatuh cinta, dan ini cinta sejati. Cinta ini lebih penting daripada apapun yang saya utarakan di atas. Saya mungkin akan berjualan serabi saja. Ibu masih ingat kan serabi kang Jajang yang dulu sering kita makan kalau ke Bandung?


Saya akan buka cabang di sini. Ini pekerjaan santai dan menyenangkan. Jadi saya punya banyak waktu untuk pacaran. Begitu kira-kira penjelasan saya kenapa saya harus mengundurkan diri bu"


(Bersambung)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun