"The Judgement Day" telah tiba, draft surat pengunduran diriku ke Pak Made rupanya tersebar. Hari ini aku dipanggil menghadap Rini. Orang-orang di kantor harap-harap cemas. Setiap orang yang melewati ruangan Rini tak kuasa untuk tidak menatap pintu ruangan kerjanya. Para penjilat pantat berspekulasi, akan kah ada tempat kosong lagi di posisi Sales Manager mengikuti Posisi Finance Manager yang telah mengundurkan diri?
"Silahkan duduk" jawab Rini dengan ketus sambil meletakkan copy surat resignku dengan kasar ke atas meja. Aku segera duduk dengan sikap santai.
"Saya tak suka dengan cara-cara begini. Pertama, bapak tidak melaksanakan tugas yang memang sudah tanggung-jawab bapak. Laporan-laporan yang saya minta tidak diserahkan ke saya, dan juga konduite hasil pekerjaan bapak tiga bulan terakhir sangat mengecewakan, sehingga saya meragukan kapasitas bapak sebagai seorang sales Manager, bapak itu mampu apa tidak?" Suara Rini terkesan membentakku.
Â
"Kedua, saya tidak suka diintimidasi dengan surat resign ini. Bapak tidak perlu menekan perusahaan dengan surat resign ini seolah-olah bapak sangat diperlukan di sini. Asal bapak tahu saja, banyak yang lebih qualified ngantri untuk posisi bapak. Bapak tidak tahu diri, bapak pikir perusahaan lebih memilih bapak daripada saya. Asal bapak tahu, saya mewakili kepentingan pemilik saham mayoritas." Suara Rini tetap dengan nada tinggi.
"Ketiga, saya tidak suka masalah-masalah pribadi dimasukkan ke dalam pekerjaan. Tapi okelah, kalau bapak mau bersikap baik, demi masa lalu, kali ini bapak saya maafkan. Untuk sementara bapak saya skors sebagai Sales Manager. Sementara ini, bapak menjadi asisten saya dulu, sampai bapak menunjukkan sikap yang baik"
Waduh, sombong sekali orang ini. Ia mencoba mengintimidasi dan menekanku. Aku menarik nafas panjang dan kemudian berkata dengan lembut, "Ibu, saya benar-benar mengundurkan diri dari perusahaan ini tanpa ada melibatkan urusan-urusan pribadi. Surat pengunduran resmipun sudah saya masukkan kemarin ke HRD." Rini kini terlihat bingung.
"Lagipula karir saya di sini sudah mentok karena perbedaan visi. Saya dituduh menjual produk kompetitor, padahal dari dulu kita sering bekerjasama dengan kompetitor untuk memasok kebutuhan customer. Lagian prinsip perusahaan selama ini kan customer oriented, kita melayani kebutuhan customer. Bukan product oriented, karena saat ini kita belum bisa memaksakan merek produk kita ke customer Bu." Aku menghela nafas sejenak.
"Memang benar, dari seluruh peralatan yang saya jual ke customer, mungkin hanya empat puluh persennya produk kita. Bukan karena saya tricky, melainkan karena produk tersebut tidak tersedia di sini bu." Namun aku tidak cerita ke Rini kalau aku itu sering juga menjual alat berat bekas rekondisi ke customer. Hiks.
"Bu Rini, kebetulan bisnis Keluarga berkembang pesat enam tahun terakhir ini, yang membutuhkan penanganan serius. Papa mulai menua. Sebagai anggota keluarga dan juga pemilik perusahaan, saya juga ikut memikul tanggung jawab kelangsungan hidup perusahaan keluarga ini." Seketika aku melihat wajah Rini yang sudah mulai kehilangan taringnya.
Kini dia ingat, dulu sewaktu kami masih pacaran, aku pernah bicara padanya. Selesai kuliah, aku tidak mau lanjut S2 atau bekerja sama papa. Aku mau bekerja di tempat lain dulu dari posisi bawah untuk mencari pengalaman. Kalau boleh perusahaan dengan reputasi baik, "supaya aku bisa curi ilmu." Setelah itu barulah balik menangani perusahaan keluarga. Â