Selain Ahok, Jokowi adalah manusia Indonesia yang paling sering dihina oleh penduduk negeri ini, mulai dari capres hingga tukang asongan dan pedagang kaki lima. Tetapi yang jelas lebih banyak masyarakat yang mencintainya daripada yang membencinya. Logika sederhananya adalah, tidak mungkin Jokowi menjadi presiden kalau lebih banyak masyarakat yang membencinya!
Sebahagian masyarakat kita itu memang “kurang legowo” (Berlapang dada) atau berjiwa besar dalam menyikapi segala sesuatunya. Suka atau tidak suka merupakan hak azasi manusia yang harus dijunjung tinggi. Akan tetapi menghina orang yang tidak kita sukai sebenarnya adalah sebuah tindakan hina yang juga menghinakan diri kita sendiri sebagai seorang manusia yang merdeka yang tidak layak dihina dan menghina sesama orang!
Mengapa ada orang yang suka menghinakan orang lain?
Jawabannya tidak melulu terletak pada orang yang dihinakan itu, tetapi lebih besar pada kepribadian orang yang menghinakan tersebut. Mari kita simak beberapa hal tersebut dalam bentuk peribahasa.
Tong kosong nyaring bunyinya
Banyak orang yang kemampuannya pas-pasan, berusaha menarik perhatian/simpati orang lain dengan cara menyerang/menghina orang tertentu. Isu yang paling jitu tentulah menyangkut fisik seseorang dan SARA! Ketika berada pada kelompok tertentu, tentulah paling enak “mencuri panggung” itu dengan jalan menghinakan kelompok lain.
Biasanya sebagian dari penonton akan tertarik mendengar bualan seperti begitu. Umumnya penonton itu adalah kaum inferior, kurang terdidik, kaum “impoten” yang tidak percaya diri, penyuka tahayul, sehingga bisa diperdaya sipenghina. Penonton yang educated tentu saja tidak akan mau mendengar. Tadinya mereka berharap sipembicara itu punya ide/gagasan yang layak untuk mereka dengar. Tetapi mereka kecewa. Sipembicara “tidak punya sesuatu” untuk pendengarnya selain menghinakan orang lain!
Para pemimpin kelompok sosial yang berazaskan agama, kelompok kesukuan maupun ormas kepemudaan paling suka berkoar-koar dengan memakai metode ini. Dan memang kebetulan juga, para simpatisannya adalah mereka yang disebut kaum impoten yang otaknya ada didengkul, sehingga ketika mereka itu diparkiran terjatuh dari motor dan kakinya menyentuh aspal, mereka akan menderita geger otak!
Muka buruk cermin dibelah
Ada juga orang yang kurang mampu tetapi memaksakan diri untuk berbicara atau menjadi pemimpin. Karena tidak mempunyai kapabilitas, tentu saja pembicaraan dan tindakannya rawan salah. Akan tetapi orang ini akan mempersalahkan dan menghinakan orang lain untuk menutupi kekurangannya tersebut.
Orang-orang seperti ini terkadang sudah mempersiapkan dengan matang “kambing hitam” yang untuk dipersalahkan kelak, apabila dia melakukan kesalahan. Ahirnya supaya dianggap hebat dan pintar, isi pembicaraannya hanya menceritakan kekurangan dan penghinaan kepada orang lain. Memang manusia type begini ini, supaya bisa meninggikan dirinya hanya dengan satu cara saja, yaitu dengan cara merendahkan orang lain!
Seperti kerbau dicucuk hidung
Ada juga orang yang setiap hari kerjanya hanya menghinakan orang tertentu. Sebagai manusia yang hidup dalam dunia subjektivitas, adalah wajar kalau kita terkadang tidak suka atau tidak sependapat kepada seseorang dalam hal tertentu. Tetapi tentu saja hal tersebut tidak lantas membuat kita tidak dapat melihat sisi baik dari orang tersebut, dan lantas membencinya!
Akan tetapi terkadang kita heran melihat di medsos, ada orang yang sangat sangat benci kepada orang tertentu. Setelah diteliti, ternyata orang tersebut adalah “orang upahan” Mereka memang diupah untuk menghinakan orang tertentu! “Kerbau-kerbau” ini persis seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, tugasnya adalah menghina orang lain untuk memuaskan kehendak pengupahnya!
Bagai rumah ditepi tebing
Ada juga orang yang begitu paranoid terhadap orang tertentu, sehingga dia selalu berasumsi orang tersebut ingin berbuat jahat kepadanya. Ahirnya orang tersebut selalu menyerang dan menghinakan orang-orang yang dianggapnya ingin berbuat jahat tersebut kepadanya.
Dalam dunia politik, para pemimpin dan mantan pemimpin kita sering kali menunjukkan “sikap Paranoidnya” tanpa malu-malu didepan umum. Yang paling gres adalah ketika SBY sewot saat rombongan Presiden Jokowi mengunjungi komplek olahraga Hambalang!
Mungkin hanya Habibie, Gus Dur dan Jokowi yang tidak bersikap paranoid kepada lawan politiknya.
Bagai pungguk merindukan bulan
Banyak orang mempunyai harapan atau cita-cita menjadi seorang pemimpin. Ketika kondisinya memungkinkan maka dia lalu berupaya dengan segala cara untuk mewujudkan cita-citanya itu.
Namun apa lacur, cita-cita tersebut ahirnya hancur berantakan, karena orang lain yang terpilih. Padahal dia merasa mempunyai kapabilitas, strategi dan dana yang sangat mendukung.
Karena kalah, dalam keputus-asaannya, dia ahirnya meyerang dan menghinakan saingannya tersebut! Kapabilitas, strategi dan uang, tidak serta merta membuat masyarakat memilih orang yang memilikinya. Budi pekerti, Latar belakang dan Ketulusan, juga menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih pemimpin mereka.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula
Pada ahirnya begitulah nasib para penghina itu kelak! Setelah menghabiskan banyak pikiran, enerji dan biaya untuk menghinakan orang tertentu dan menghasut masyarakat banyak agar membenci orang-orang yang tidak disukainya, para penghina itu akan merasa bosan dan kecapaian sendiri!
Muka mereka akan menjadi tua dan jelek karena yang dihinakan tidak menjadi sewot dan marah. Akan tetapi malah masyarakat yang menjadi sewot dengan para penghina. Ahirnya masyarakat yang sewot itu lalu “mengupah” para “penghina upahan” untuk menghinakan si penghina tadi!
Tepatlah kata pepatah, “Seperti menepuk air didulang terpercik muka sendiri!” plus ditambah bonus, “Siapa yang menebar angin akan menuai badai!”
Reinhard Freddy
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI