Kedua, mulai dari keluarga. Anak yang melihat orang tuanya membaca, lebih mungkin meniru. Menurut teori social learning Albert Bandura, perilaku ditularkan lewat contoh, bukan sekadar nasihat. Jadi, alih-alih memaksa anak membaca, lebih baik kita duduk bersama dan menunjukkan bahwa membaca itu menyenangkan.
Ketiga, perkuat ekosistem. Perpustakaan jangan hanya jadi bangunan, tapi ruang hidup yang interaktif: ada diskusi, klub baca, atau bedah buku. Media sosial pun bisa jadi arena literasi, asal digunakan dengan bijak. Bayangkan jika setiap orang menyebarkan ringkasan buku yang ia baca di status WA, mungkin seminggu sekali kita mendapat ilmu baru tanpa harus keluar ongkos.
Penutup
Hari Literasi Internasional seharusnya menjadi cermin, bukan sekadar kalender. Kita bercermin: sudahkah kita benar-benar literat, atau masih sekadar bisa mengeja huruf? Literasi bukan hobi kalangan akademisi saja, melainkan kebutuhan setiap warga. Tanpa literasi, demokrasi kita mudah digoyang, ekonomi kita rapuh, dan masa depan generasi kita suram.
Seperti ungkapan pepatah Arab, al-qir'ah mafth al-'ulm---membaca adalah kunci segala ilmu. Dan ilmu, sebagaimana kita tahu, adalah cahaya. Maka, merayakan Hari Literasi Internasional adalah upaya menyalakan cahaya itu, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI