Setiap tanggal 8 September, dunia memperingati International Literacy Day atau Hari Literasi Internasional. Peringatan ini bukan sekadar seremoni global, melainkan sebuah pengingat kolektif bahwa kemampuan literasi adalah pintu masuk utama menuju peradaban. UNESCO, sejak menetapkannya pada 1967, ingin menegaskan bahwa membaca dan menulis bukan hanya keterampilan teknis, tetapi juga hak dasar manusia. Pertanyaannya: bagaimana dengan budaya literasi kita di Indonesia, negara dengan 270 juta jiwa, lautan pulau, dan segudang cerita?
Literasi: Lebih dari Sekadar Membaca
Literasi kerap disalahpahami hanya sebatas "bisa membaca" atau "bisa menulis." Padahal, literasi hari ini dipahami lebih luas: kemampuan memahami, mengolah informasi, dan menggunakannya untuk menyelesaikan persoalan hidup. Dalam laporan UNESCO (2020), literasi modern bahkan mencakup literasi digital, finansial, hingga literasi media. Artinya, kalau bisa baca caption Instagram tapi tak bisa membedakan berita asli dengan hoaks, kita masih ada PR besar.
Indonesia sendiri punya catatan unik. Data Most Literate Nation in the World (CCSU, 2016) menempatkan kita di peringkat 60 dari 61 negara dalam hal minat baca. Ironisnya, indeks ketersediaan buku, infrastruktur perpustakaan, hingga sarana pendidikan tidaklah buruk-buruk amat. Artinya, masalah kita bukan soal akses semata, tapi juga soal budaya.
Dari "Gemar Membaca" ke "Bermakna Membaca"
Kita tentu masih ingat jargon pemerintah: Gerakan Gemar Membaca. Tapi mari kita jujur: berapa banyak dari kita yang benar-benar meluangkan waktu membaca buku setiap hari, di luar buku pelajaran atau laporan kerja? Kita lebih sering membaca chat WhatsApp, scrolling TikTok, atau komentar di media sosial. Itu pun lebih banyak sekadar lewat, bukan benar-benar memahami. Padahal, literasi bukan tentang banyaknya huruf yang terbaca, melainkan tentang kedalaman makna yang kita serap.
Budaya literasi di Indonesia sering kali berhenti di permukaan. Kita mengagungkan buku, tetapi lebih sering memajangnya di lemari kaca daripada membacanya. Kita bangga punya perpustakaan desa, tapi ruangnya justru jadi tempat rapat PKK. Bahkan, sebagian orang tua masih melihat membaca sebagai aktivitas akademis semata, bukan rekreasi intelektual. Padahal, membaca adalah aktivitas membangun imajinasi, empati, dan kapasitas berpikir kritis.
Literasi dan Keseharian Sosial
Dalam praktik sehari-hari, rendahnya literasi bisa melahirkan masalah serius. Lihat saja banjirnya hoaks politik, isu kesehatan palsu, hingga jebakan pinjol ilegal. Orang yang literasinya rendah cenderung menerima informasi mentah-mentah tanpa verifikasi. Akibatnya, masyarakat gampang dipecah oleh berita bohong, ekonomi keluarga terguncang oleh jebakan digital, bahkan kesehatan publik terancam oleh mitos tak berdasar.
Seorang peneliti literasi, Jack Goody (1987), pernah menulis bahwa masyarakat yang kuat literasinya cenderung lebih stabil secara sosial dan politik. Sebab, literasi melatih kemampuan berpikir rasional dan pengambilan keputusan yang lebih matang. Di titik ini, literasi bukan lagi urusan individu, melainkan fondasi bangsa.