Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Penulis tinggal di Bojonegoro

Setiap perjalanan adalah peluang untuk menemukan hal baru, menghadapi tantangan, dan menemukan kekuatan dalam diri. Jangan mengeluh tentang perjuanganmu. Bersyukurlah karena kamu masih diberi kesempatan untuk berjuang.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Jalan Terjal Menuju Pelaminan

27 Agustus 2025   17:33 Diperbarui: 27 Agustus 2025   17:33 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan Terjal Menuju Pelaminan | www.suara.com

Beberapa hari terakhir, potongan video podcast Raditya Dika dan Soimah beredar luas di linimasa. Entah kenapa, algoritma media sosial kita seperti punya radar khusus untuk urusan rumah tangga, jodoh, dan mertua. Mungkin karena topik itu dekat dengan denyut kehidupan sehari-hari, atau bisa jadi karena semua orang, sadar atau tidak, punya pengalaman---atau minimal bayangan---tentang bagaimana rasanya punya calon mertua.

Nah, potongan video itu bikin banyak orang terdiam sejenak, lalu ketawa getir. Isi obrolan yang seolah menggambarkan "beratnya" menghadapi calon mertua tertentu ternyata langsung mengena. Maklum, mertua sering kali jadi bonus dalam pernikahan. Kalau pas dapat yang baik, anggap saja rezeki berlipat. Kalau kebetulan dapat yang bikin kening berkerut, ya berarti sedang diuji kesabarannya.

Mertua: Antara Doa dan Drama

Membicarakan mertua itu seperti membicarakan cuaca. Semua orang punya versi cerita sendiri. Ada yang bilang, "Wah, mertuaku baik banget, kayak ibu sendiri." Tapi tak jarang juga ada yang mendesah, "Duh, kalau ingat mertua, pengin langsung jadi anak kos lagi."

Fenomena ini bukan barang baru. Sejak dulu, hubungan menantu-mertua sering jadi tema sinetron. Dari judul-judul lama sampai drama kekinian, selalu ada tokoh ibu mertua yang tampil antagonis. Seolah-olah dunia pernikahan tidak lengkap tanpa ujian dari "departemen mertua".

Tentu saja tidak semua seperti itu. Banyak juga mertua yang justru jadi sandaran, penyemangat, bahkan pelindung ketika rumah tangga goyah. Hanya saja, cerita tentang mertua yang "seram" lebih cepat viral. Katanya, gosip lebih cepat jalan daripada doa.

Kalau Kompasianer Jadi Menantu

Sekarang, mari sedikit berandai. Katakanlah Kompasianer punya calon mertua yang karakternya keras, penuh aturan, dan gampang memberi komentar atas segala hal. Apa langkah yang paling bijak? Apakah tetap melangkah ke pelaminan, atau putar balik sebelum akad?

Pertanyaan ini tentu tak ada jawaban seragam. Bagi sebagian orang, cinta pada pasangan cukup kuat untuk menghadapi "bonus ujian" dari calon mertua. Prinsipnya, "Yang nikah kan aku sama dia, bukan sama orang tuanya." Tapi dalam realita, menikah itu bukan sekadar penyatuan dua individu, melainkan juga dua keluarga. Dan di sinilah seni berumah tangga diuji.

Kalau saya pribadi, barangkali akan mencoba tiga strategi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun