Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Penulis tinggal di Bojonegoro

Setiap perjalanan adalah peluang untuk menemukan hal baru, menghadapi tantangan, dan menemukan kekuatan dalam diri. Jangan mengeluh tentang perjuanganmu. Bersyukurlah karena kamu masih diberi kesempatan untuk berjuang.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Orkestrasi J.League dan Liga 1: Ekspektasi Jepang dan Mimpi Indonesia Menatap Piala Dunia 2026

11 Juni 2025   16:26 Diperbarui: 12 Juni 2025   18:40 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Timnas Jepang vs Timnas Indonesia| www.sport.sindonews.com

Di balik sorak sorai penonton dan gemuruh stadion, tersimpan kerja senyap yang tak kalah penting: orkestrasi liga domestik dalam membentuk tim nasional. Bagi Jepang dan Indonesia, dua negara dengan latar belakang sepak bola yang sangat berbeda, peran liga dalam membentuk timnas bukan sekadar soal kompetisi. Ia adalah jantung dari proyek panjang bernama "mimpi ke Piala Dunia".

Mari kita mulai dari negeri sakura. Jepang, yang sudah lima kali berturut-turut lolos ke Piala Dunia sejak 1998, tidak tiba di titik itu secara kebetulan. Mereka membangun segalanya secara sistemik. J.League yang lahir pada 1993 bukan hanya kompetisi antarklub, melainkan pabrik besar talenta yang terintegrasi langsung dengan cita-cita tim nasional. J.League bukan hanya tentang menang-kalah, tapi juga tentang pembinaan, kurasi, dan konsistensi.

Bandingkan dengan Indonesia. Liga 1---yang kini berada di bawah pengelolaan PT LIB---memang sudah mulai menemukan bentuk profesionalnya. Klub-klub makin sehat secara bisnis, stadion makin rapi, bahkan tayangan siaran sudah sekelas internasional. Tapi bagaimana dengan peran Liga 1 dalam membentuk timnas? Di sinilah ceritanya menjadi menarik.

J.League: Mesin Pembentuk Samurai Biru

Jepang sangat serius soal orkestrasi antara liga dan timnas. Salah satu tokoh penting di balik ini adalah Takeshi Okada, pelatih yang membawa Jepang ke Piala Dunia 1998 dan 2010. Ia pernah mengatakan bahwa keberhasilan timnas tak mungkin terjadi tanpa dukungan liga yang sehat dan terorganisir. Dalam struktur J.League, bahkan ada regulasi khusus yang mendorong klub untuk mempromosikan pemain muda lokal, termasuk batas jumlah pemain asing.

Hasilnya? Nama-nama seperti Takefusa Kubo, Kaoru Mitoma, hingga Ritsu Doan bukan muncul dari ruang hampa. Mereka dilatih, dikawal, dan diberi ruang tumbuh di kompetisi yang ketat namun terukur. Ketika mereka akhirnya "terbang" ke Eropa, mereka sudah matang, sudah punya dasar yang kuat. Bahkan dalam proses seleksi pemain timnas, pelatih Jepang kerap hadir langsung di laga-laga J.League, memastikan bahwa semua keputusan berdasar data dan pengamatan.

Lebih dari itu, federasi Jepang (JFA) punya kurikulum pelatihan usia dini yang terkoneksi langsung dengan klub-klub J.League. Ini bukan hanya soal sepak bola, tapi juga soal mentalitas, gizi, hingga pendidikan. Mereka paham, Piala Dunia bukan ajang one-hit wonder, tapi soal keberlanjutan.

Liga 1: Masih Sibuk Dengan Masalah Dasar

Kini mari menoleh ke Indonesia. Liga 1 memang makin menggeliat. Pemain muda seperti Marselino Ferdinan, Rafael Struick, dan Hokky Caraka mulai mencuri perhatian. Tapi kalau kita bicara sistem, Liga 1 belum benar-benar terhubung dengan timnas dalam skema besar yang berkelanjutan.

Misalnya soal regulasi pemain muda. Memang ada kewajiban memainkan pemain U-23, tapi implementasinya kerap formalitas belaka. Banyak pelatih lebih memilih "memainkan" pemain muda di awal laga, lalu menggantinya di menit ke-10. Tujuannya? Ya sekadar memenuhi regulasi, bukan membina.

Bahkan scouting timnas masih terkesan tambal sulam. Banyak pemain yang dipanggil timnas lebih karena viral di media sosial atau "terlihat bagus" saat turnamen pendek, bukan karena konsistensi performa di Liga 1. Di sinilah kita melihat kesenjangan antara liga dan tim nasional. Belum lagi soal kalender yang sering bentrok antara laga timnas dan jadwal liga, yang bikin klub enggan melepas pemainnya.

Menuju 2026: Masih Ada Waktu, Tapi Tak Banyak

Piala Dunia 2026 akan menjadi ajang terbesar sepanjang sejarah, dengan 48 negara peserta. Secara matematis, peluang lolos bagi negara Asia seperti Indonesia lebih besar. Tapi peluang tanpa strategi hanyalah khayalan.

Jepang sudah membuktikan bahwa konsistensi adalah kunci. Mereka tidak panik saat gagal di satu turnamen, karena mereka tahu sistemnya akan terus menghasilkan generasi berikutnya. Liga adalah laboratorium, bukan panggung semata. Klub bukan hanya mengejar juara, tapi juga membentuk pemain untuk kepentingan bangsa.

Indonesia bisa meniru ini, tentu dengan penyesuaian konteks. Misalnya, PSSI dan PT LIB perlu duduk bareng membentuk kurikulum pembinaan bersama. Klub harus diberi insentif (bukan hanya sanksi) agar serius membina pemain muda. Liga 1 harus jadi kawah candradimuka bagi pemain lokal, bukan sekadar ajang parade bintang asing.

Pelatih timnas juga perlu terlibat aktif memantau liga, bukan hanya mengandalkan tim scouting. Jangan sampai pemain dipanggil timnas hanya karena highlight YouTube. Dan yang tak kalah penting, federasi harus berani menata ulang kalender kompetisi agar sinkron dengan agenda tim nasional.

Penutup: Dari Orkestra Menuju Simfoni

Piala Dunia bukan sekadar soal punya 11 pemain terbaik. Ia adalah soal simfoni. Semua harus terorkestrasi: liga, klub, federasi, pelatih, bahkan suporter. Jepang sudah memainkan simfoni itu sejak 30 tahun lalu, dan kini menuai hasilnya. Indonesia, meski terlambat, belum terlambat.

Kalau Liga 1 bisa ditata bukan hanya untuk industri, tapi juga untuk negara, maka mimpi Indonesia tampil di Piala Dunia bukan lagi utopia. Ia akan jadi cita-cita kolektif yang masuk akal.

Dan seperti yang dikatakan Rinus Michels, bapak total football: "Football is war." Maka setiap pertandingan di Liga 1 seharusnya adalah latihan kecil sebelum perang besar bernama Piala Dunia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun