Setiap tanggal 1 Mei, dunia berhenti sejenak untuk mengenang dan merayakan satu kata yang sering kali terdengar sederhana namun sarat makna: kerja. Lebih tepatnya, mereka yang bekerja. May Day atau Hari Buruh Internasional adalah momentum untuk memberi panggung pada mereka yang selama ini jadi fondasi ekonomi: para pekerja, buruh, karyawan, atau apapun sebutannya. Tapi di tengah situasi ekonomi yang sedang lesu, peringatan ini bukan hanya jadi seremoni tahunan---ia berubah jadi refleksi yang dalam dan penuh tantangan.
Mari kita mulai dari apa yang sedang kita hadapi bersama: ekonomi yang jalan terseok-seok. Di tengah pemulihan pasca-pandemi yang belum sepenuhnya tuntas, ditambah tekanan global seperti krisis energi, geopolitik, dan inflasi yang tak kunjung reda, sektor ketenagakerjaan ikut menanggung beban. PHK makin sering terdengar di lini berita, upah yang stagnan, daya beli yang turun, dan beban hidup yang justru makin berat. Bahkan ada yang berkata, "kerja sih kerja, tapi kok rasanya kayak nggak hidup?"
Tapi justru di situ lah May Day menemukan maknanya. Di tengah situasi yang tak ramah ini, kita diingatkan kembali bahwa buruh bukan sekadar "tenaga kerja"---mereka adalah manusia dengan harapan, keluarga, dan kehidupan yang layak untuk diperjuangkan. May Day bukan hanya tentang demo dan spanduk, tapi tentang mempertanyakan ulang: sudahkah negara, perusahaan, dan masyarakat memberikan tempat yang adil bagi pekerja?
Buruh: Jantung Ekonomi yang Terlupakan
Jika ekonomi diibaratkan sebagai tubuh, maka buruh adalah jantungnya. Mereka yang memutar roda produksi, menyalakan mesin-mesin pabrik, mengangkut hasil bumi, hingga mengetik ribuan laporan setiap harinya. Namun ironisnya, jantung ini sering dibiarkan berdenyut sendiri tanpa cukup asupan. Gaji tak sebanding dengan kerja, jam kerja panjang tapi minim perlindungan, dan masih banyak yang bekerja tanpa kepastian status---kontrak harian, outsourcing, dan sistem magang yang tak jarang disalahgunakan.
Maka, memperingati Hari Buruh bukan berarti memusuhi pengusaha atau menyalakan pemerintah. Ini adalah ajakan untuk duduk bersama dan bertanya: "Apa yang bisa diperbaiki agar kerja tidak lagi jadi beban hidup, tapi justru sumber martabat manusia?"
Ekonomi Lesu, Harapan Jangan Ikut Layu
Memang berat bicara tentang kesejahteraan di saat ekonomi sedang megap-megap. Perusahaan pun banyak yang terpaksa mengetatkan ikat pinggang. Tapi bukan berarti keadilan harus ikut dikorbankan. Justru di tengah krisis, penting bagi kita untuk memastikan tidak ada kelompok yang makin terpinggirkan. Jika pengusaha bisa mendapatkan insentif dan subsidi dari negara, maka buruh pun harus mendapat perlindungan yang setara. Ini bukan soal siapa yang lebih penting, tapi soal siapa yang lebih rentan.
Pemerintah punya peran sentral. Dalam situasi seperti ini, kebijakan yang pro-pekerja sangat dibutuhkan---entah itu berupa jaminan sosial yang lebih luas, perlindungan terhadap PHK sepihak, atau bahkan pelatihan kerja ulang (reskilling) untuk menghadapi tantangan dunia kerja yang makin digital. Begitu pula serikat pekerja dan komunitas buruh, yang tak boleh lelah menyuarakan hak-hak anggotanya.
Dan di sisi lain, kita sebagai masyarakat juga punya andil. Sering kali kita terjebak dalam glorifikasi kesuksesan pribadi, tanpa menyadari bahwa banyak dari kenyamanan yang kita nikmati berasal dari kerja keras orang lain---tukang sapu jalan, kurir paket, penjaga parkir, pegawai minimarket. Menghargai mereka bukan hanya dengan ucapan "terima kasih," tapi juga dengan memperjuangkan sistem yang adil bagi mereka.