Di sebuah hutan yang asri, Si Kancil berlari-lari kecil menuju tepi sungai. Hari itu, ia ingin mengumumkan sesuatu yang luar biasa kepada teman-temannya.
“Hai semua! Aku memutuskan untuk ikut puasa tahun ini!” seru Kancil penuh semangat.
Kura-kura yang sedang berjemur mengangkat kepalanya malas. “Wah, berita besar. Kancil puasa? Kamu yakin?”
“Tentu saja! Aku ingin belajar menahan diri, bukan cuma dari makan dan minum, tapi juga dari perbuatan buruk.”
Kelinci terkekeh sambil menggoyang-goyangkan telinganya. “Hmm, kalau soal lapar dan haus, aku masih percaya. Tapi soal menahan diri dari perbuatan buruk? Jangan-jangan nanti kamu tetap ngakal-ngakalin kami!”
Kancil menepuk dada. “Hei! Aku ingin berubah! Aku ingin jadi teladan kejujuran!”
Teman-temannya hanya tersenyum, setengah percaya, setengah ragu.
Hari pertama puasa, Kancil memulai dengan semangat. Ia menahan lapar, haus, dan—yang paling sulit—godaan untuk berbuat curang.
Siang itu, ia berjalan melewati gudang makanan yang dijaga oleh Si Beruang. Gudang itu penuh dengan buah-buahan segar hasil panen hutan. Sebuah apel ranum tergeletak di depan pintu.
“Wah, kalau cuma satu apel… tidak akan ada yang sadar, kan?” gumam Kancil. Ia hampir mengulurkan tangan, tapi kemudian berhenti. “Eh, tidak! Aku harus jujur!”
Ia pun berjalan pergi dengan bangga.
Namun, tak jauh dari situ, ia melihat Si Rubah dan Si Babi Hutan membawa sekeranjang buah dari gudang.
“Eh, kalian dapat dari mana itu?” tanya Kancil curiga.
Si Rubah menyeringai. “Dapat jatah dari Beruang, dong.”
“Tapi kenapa aku nggak pernah lihat Beruang kasih jatah ke siapa-siapa?”
Si Babi Hutan tertawa pelan. “Ya… kadang kalau kita kasih ‘sedikit hadiah’ buat penjaganya, kita bisa dapat lebih banyak. Namanya juga rezeki, Cil.”
Mata Kancil membelalak. “Lho! Itu namanya suap!”
Si Rubah hanya mengangkat bahu. “Ah, kamu ini polos sekali, Cil. Di mana-mana, kalau mau gampang, ya kasih pelicin dikit. Kalau nggak, susah dapet bagian.”
Kancil merasa marah. Ia teringat niatnya untuk berubah, dan sekarang ia menyadari bahwa bukan cuma menahan lapar yang penting, tapi juga menahan diri dari ketidakjujuran yang merajalela di sekitarnya.
Maka, dengan langkah tegap, ia pergi menemui Si Beruang.
“Beruang, aku mau bertanya. Benarkah kau menerima ‘hadiah’ dari Rubah dan Babi Hutan supaya mereka dapat jatah lebih banyak?”
Beruang tampak gelagapan. “Eh… siapa bilang?”
“Aku melihatnya sendiri. Beruang, ini bulan suci. Kita semua belajar menahan diri, bukan cuma dari makan, tapi juga dari perbuatan buruk. Kalau kau menerima suap, bagaimana hutan ini bisa adil?”
Beruang terdiam. Ia menunduk, merasa malu. “Aku… aku khilaf, Cil. Aku hanya berpikir, toh mereka memberi sesuatu untukku juga.”
“Tapi itu tidak adil! Bagaimana dengan teman-teman lain yang juga butuh, tapi tidak bisa menyuap?”
Beruang menarik napas dalam-dalam. Ia menatap Kancil dengan sungguh-sungguh. “Kau benar, Cil. Aku akan berhenti menerima suap dan membagikan makanan secara adil.”
Kancil tersenyum puas. Ia merasa puasanya kali ini lebih bermakna, bukan hanya menahan lapar, tapi juga menahan diri dari godaan untuk diam melihat ketidakjujuran.
Sore itu, ketika azan magrib berkumandang dari desa di seberang hutan, Kancil berbuka dengan hati yang lebih ringan.
Kura-kura tersenyum padanya. “Bagaimana puasamu, Cil?”
Kancil mengunyah potongan semangka dan tersenyum. “Susah, Kur. Tapi aku belajar satu hal hari ini. Puasa bukan cuma soal menahan lapar, tapi juga menahan diri dari perbuatan curang. Dan aku akan terus berusaha!”
Teman-temannya bersorak, bangga pada Si Kancil.
Dan sejak hari itu, Kancil tidak hanya terkenal sebagai si cerdik, tapi juga si pemberani yang berani menegakkan kejujuran.
Cerita ini bukan cuma tentang puasa, tapi juga tentang bagaimana kita menghadapi korupsi di sekitar kita. Semoga menginspirasi! 😊
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI