Mohon tunggu...
Chesya Aurora Simorangkir
Chesya Aurora Simorangkir Mohon Tunggu... Mahasiswi di Universitas Airlangga

Perempuan inovatif yang tertarik dalam dunia kesehatan, giat dalam bidang desain kreatif

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Bekal Pengetahuan First Aid CPR Sejak Dini Ciptakan Generasi Melek K3

19 September 2025   17:20 Diperbarui: 19 September 2025   17:19 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap orang pasti ingin menjalani kehidupannya dengan baik dan tidak seorang pun mengharapkan hal-hal buruk terjadi dalam hidupnya. Akan tetapi, hal buruk dapat menimpa siapapun, kapanpun, dan dimanapun sehingga kita harus siap siaga untuk memberikan pertolongan pertama. Fenomena yang kita anggap sepele justru dapat merenggut nyawa seseorang jika tidak diberi penanganan. Sangat disayangkan, masih banyak orang yang tidak memiliki pengetahuan akan pertolongan pertama yang mumpuni. Seharusnya dengan melakukan upaya pertolongan pertama pada korban, kemungkinan besar nyawa orang tersebut masih bisa diselamatkan.

Salah satu fenomena yang merenggut banyak nyawa manusia adalah henti jantung. Kecelakaan ini bisa menimpa seluruh kalangan baik anak-anak hingga manula (manusia lanjut usia) dan dapat terjadi dimanapun baik di lingkungan kerja maupun lingkungan sekitar kita. Fenomena ini terjadi secara tiba-tiba sehingga henti jantung disebut juga sebagai silent killer. Henti jantung adalah kondisi medis dimana jantung berhenti bekerja secara tiba-tiba sehingga tidak ada aliran darah yang mengalir ke otak. Penyakit jantung termasuk henti jantung masih menjadi salah satu penyakit yang menduduki peringkat pertama penyebab kematian paling tinggi di Indonesia.Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan, penyakit tersebut membebani BPJS hingga Rp10 triliun.American Heart Association (AHA) melaporkan bahwa diperkirakan sekitar 350.000 orang di dunia meninggal setiap tahun akibat henti jantung di luar rumah sakit. Itu berarti setiap 90 detik ada seseorang yang mengalami henti jantung.Berdasarkan data IHME, kasus kematian akibat penyakit jantung di Indonesia sebesar 251,09 per 100.000 kematian pada 2019. Jumlah tersebut terus mengalami kenaikan sejak tahun 1990.

First Aid adalah prosedur pertolongan pertama pada korban kecelakaan yang hanya memerlukan penanganan medis dasar, salah satu prosedurnya yakni CPR. Dilansir dari artikel Siloam Hospitals, CPR (cardiopulmonary resuscitation) adalah upaya pertolongan pertama bagi seseorang yang mengalami henti jantung dan paru mendadak. Pengetahuan akan upaya yang kerap juga dikenal dengan istilah RJP (Resusitasi Jantung Paru) sejak dini memiliki banyak manfaat untuk mendukung keberlangsungan hidup. Anak-anak sangat rentan dengan fenomena ini di lingkungannya sehingga anak perlu dibekali pengetahuan akan pertolongan pertama CPR. Prosedur ini merupakan basic life support yang dapat dilakukan oleh semua kalangan. Manfaat memiliki pengetahuan pertolongan pertama sejak dini antara lain early awareness terkait keselamatan dan kesehatan di sekitarnya, meningkatkan kepercayaan diri anak dalam menghadapi kondisi darurat medis serta dapat berperan langsung dalam mengimplementasikan prinsip K3 sejak dini.

            

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) menjadi budaya dalam dunia kerja maupun sehari-hari yang condong kepada upaya preventif kecelakaan serta analisis risiko-risiko yang berpotensi mengakibatkan kecelakaan dan gangguan kesehatan di lingkungan sekitar kita. Prinsip K3 sangat lekat dengan kehidupan sehari-hari. Ketika kita beraktivitas pun kita sebenarnya tidak lepas dari prinsip K3 yaitu mengutamakan keselamatan dan kesehatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. K3 dapat kita implementasikan dalam aktivitas bermasyarakat contohnya adalah dengan mengetahui serta terampil dalam pertolongan pertama. Dengan pengaplikasian hal sederhana tersebut sudah dapat membantu banyak orang sekaligus mengamalkan K3 sebagai budaya dalam bermasyarakat.

Tingkat pengetahuan akan Resusitasi Jantung Paru di Indonesia masih sangat rendah karena tidak diintegrasikannya kurikulum pembelajaran tentang pertolongan pertama di sekolah-sekolah secara proaktif. Padahal hal ini sangat penting untuk diajarkan kepada anak sejak dini. Adapun manfaat yang akan diterima masyarakat dengan memiliki pengetahuan yang benar akan CPR yakni menjadi lebih cepat tanggap jika ada tanda-tanda seseorang terkena henti jantung dan dapat memberikan RJP dengan efektif pada korban. Pengetahuan akan hal ini dapat menyelamatkan banyak nyawa orang bahkan keluarga kita.

Untuk menanggapi kondisi ini, anak dapat diajarkan protokol pertolongan pertama henti jantung secara sederhana dimulai dari mengenalkan anak ciri orang yang kesulitan bernapas sebagai salah satu indikator henti jantung, mengarahkan anak untuk mencari serta meminta bantuan pada orang dewasa atau tenaga medis serta mengajari anak cara berbicara pada orang dewasa ketika meminta bantuan untuk orang yang memiliki tanda-tanda henti jantung.

Remaja juga perlu diajarkan protokol ini karena secara fisik dan intelektual remaja sudah lebih matang dan siap jika dihadapkan dengan peristiwa tersebut. Secara interaksi sosial, remaja akan lebih sering dihadapkan dengan situasi yang mengharuskan dia menolong teman sepantarannya ataupun orang lain di tempat umum. Sehingga remaja perlu mengetahui teknik dasar melakukan RJP dengan tepat contohnya dengan menekan dada penderita secara berulang. Hal itu harus dilakukan secara tepat karena jika salah akan berisiko pada kegagalan fungsi jantung. Sembari melakukan RJP, perlu juga untuk mengecek kesadaran penderita dan menghubungi ambulans untuk penanganan lebih lanjut dari profesional yang berwenang.

Kasus yang sangat disayangkan adalah ketika orang-orang tidak paham bagaimana cara melakukan tindak pertolongan pertama pada penderita.Seperti pada kasus yang menimpa seorang atlet bulu tangkis dari China bernama Zhang Zhi Jie yang meninggal dunia akibat keterlambatan penanganan henti jantung. Tim medis melewatkan detik-detik awal yang sangat krusial. Selama 40 detik setelah atlit tersebut jatuh baru wasit mengizinkan tim medis untuk masuk dan 20 detik lagi hingga tim medis sampai ke lapangan. Dengan kata lain, atlit tersebut tidak diberi pertolongan selama 1 menit saat henti jantung. Pada kasus ini survival rate atlit tersebut sudah menurun akibat waktu yang dilewatkan sudah sangat banyak. Dampak dari tidak segera ditanganinya Zhang membuat sirkulasi daarah ke otak menjadi tidak ada atau disebut permanent damage. Ketika sudah sampai ke rumah sakit, Zhang sudah tidak memiliki denyut nadi dan tidak bernapas spontan.

Dari kasus ini bisa disimpulkan, diperlukan kesigapan dalam menangani henti jantung agar tidak melewatkan detik-detik awal yang menjadi kesempatan emas penderita henti jantung dapat bertahan hidup. Dengan membekali anak sedari dini tentang CPR, banyak nyawa yang dapat diselamatkan kedepannya. Prinsip K3 tidak terbatas pada dunia kerja saja tapi bisa diterapkan menjadi budaya dalam kehidupan sehari-hari dengan mengutamakan keselamatan orang di sekitar kita. Pengamalan prinsip K3 sebagai budaya sejak dini merupakan salah satu upaya melahirkan para ahli K3 yang unggul di masa depan. Mari ciptakan generasi yang melek K3 sejak dini dengan pemberian edukasi prosedur pertolongan pertama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun