Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Benarkah Kenaikan Iuran Dana Jaminan Sosial Berlebihan?

8 September 2019   22:41 Diperbarui: 9 September 2019   17:31 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah warga antre mendaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan di Kantor BPJS Jalan Karya, Medan, Selasa (14/11). TRIBUN MEDAN/RISKI CAHYADI

Bahkan hitungan Kemenkeu, dengan kenaikan dua kali lipat tersebut, pada tahun 2022 bisa surplus Rp 4 triliun lebih. SMI ingin meninggalkan legacy kepada Menkeu yang baru untuk tidak lagi terbebani dengan jebakan defisit DJS JKN. Suatu niat yang "mulia dan mengharukan".

Apa sederhana itukah persoalan di masyarakat? Apa selogis itukah hitungan iuran yang harus dinaikkan berlipat ganda untuk menambal defisit? Kenaikan iuran memang suatu keniscayaan, khususnya untuk PBI, karena selama ini sangat rendah, tetapi menaikkan nilai ekstrem untuk non-PBI, khusus PBPU dan BP adalah kebablasan.

Harus ada analisis mendalam dari aspek sosiologis masyarakat, kemampuan dan iklim ekonomi rakyat, kebijakan-kebijakan pemerintah di sektor lain yang juga membebani masyarakat, dan yang paling penting membangun komunikasi dengan semua stakeholder masyarakat yang mengiur secara mandiri.

Sudah banyak tulisan maupun artikel yang memberikan masukan terkait skema kenaikan iuran yang proporsional, sampai dengan mengevaluasi kategori kelas perawatan standar yang diamanatkan UU SJSN, dengan kelas eksisting yang diberlakukan pemerintah (kelas I, II, dan III).

Sekarang ini, terlihat pemerintah sedang berada dalam pola pikir anomali. Saya katakan anomali, karena ada penyimpangan konsistensi berpikir dalam menyelesaikan kemelut iuran DJS JKN.

Di mana anomalinya, mari kita lihat fakta berikut ini:

Tahun 2013, ketika DJSN mengajukan besaran iuran untuk 2 tahun mendatang untuk PBI Rp 27.000/POPB, pemerintah menyetujui hanya Rp 19.225 bahkan sebelumnya sempat direncanakan hanya Rp 15.000/POPB.

DJSN sudah meramalkan defisit, setahun berjalan sudah defisit triliun rupiah. Pada tahun 2015, DJSN melakukan lagi perhitungan empirik, dengan mensurvey RS, dan Klinik, supaya tidak defisit, DJSN mengusulkan iuran PBI Rp 36.000/POPB. 

Ternyata PBI hanya dinaikkan sedikit menjadi Rp 23.000/POPB. Bahkan untuk kelas III (non PBI) yang semula sudah dinaikkan menjadi Rp 31 tibu, sebelum dilaksanakan diturunkan kembali menjadi Rp 25.500 Akibatnya kita lihat sendiri, defisit menjadi Rp 9,1 triliun tahun 2018.

Fakta di atas membuktikan, bahwa dari awal pemerintah sudah menyadari terjadinya defisit. Kalau begitu di mana aneh atau penyimpangannya. Penyimpangannya adalah dari awal sudah mengetahui rendahnya iuran PBI, akan menimbulkan defisit, kenapa tidak disesuaikan iurannya, sesuai saran DJSN yang diberikan amanat oleh UU SJSN untuk menghitung besaran iuran PBI?

Saat utang ke RS semakin menumpuk, pelayanan kesehatan JKN sudah terganggu, persoalan ikutan moral hazard serta fraud di RS mulai terjadi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, baru Kemenkeu menyadarinya ada persoalan besar menghadang di depan mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun